Perebutan Golkar Kursi Pimpinan Golkar di Mata Milenial
28 Agustus 2019Partai Golkar sebagai partai tertua di Indonesia dengan sejarah panjangnya kini tengah disibukkan dengan persaingan antara Airlangga Hartanto dan Bambang Soesatyo, sering dipanggil Bamsoet, dalam menduduki kursi Ketua Umum (Ketum). Perebutan kursi ketum ini akan mencapai puncaknya di saat Musyawarah Nasional (Munas) yang hinga kini belum jelas kapan akan dilaksanakan.
Pihak Bamsoet diketahui terus mendesak DPP Partai Golkar agar segera mengelar rapat pleno untuk menentukan waktu munas tersebut. Ketua DPR ini ingin agar munas partai berlambang pohon beringin tersebut dihelat sebelum pelantikan Presiden dan Waki Presiden Terpilih, Joko Widodo – Ma'ruf Amin, pada Oktober mendatang.
Sementara Airlangga yang notabene petahana dan juga menjabat sebagai Menteri Perindustrian RI, bersikeras agar munas diselengarakan pada bulan Desember 2019. Ia beralasan jadwal tersebut merupakan hasil keputusan Munaslub 2017 lalu. Dia pun meminta para kader Partai Golkar untuk menghormati hasil Munaslub tersebut.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Viktus Murin, mengatakan bahwa rapat pleno DPP Partai Golkar perlu digelar dalam waku dekat demi merespon kondisi partai yang belakangan terjebak dalam dualitas antara Airlangga dan Bamsoet. Rapat tersebut merupakan sarana untuk membahas berbagai agenda strategis partai dan tentunya akan memperkuat konsolidasi parta dalam kontestasi politik pada Pilkada Serentak 2020 mendatang.
"Seingat saya, Rapat Pleno DPP Partai Golkar terakhir dilakukan pada 27 Agustus 2018. Itu berarti sudah setahun terakhir ini, belum lagi ada rapat pleno,” ujar Viktus dalam siaran persnya kepada DW Indonesia. "Kita berharap Ketum berpegang pada AD/ART dalam memimpin Partai Golkar. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang akan menghormati AD/ART partai,” pungkasnya.
Senada dengan Viktus, Mirwan Vauly, pengurus DPP Partai Golkar menilai kondisi partai saat ini cukup memprihatinkan. Menurutnya keinginan sejumlah pengurus untuk mendorong dilaksanakannya rapat pleno tidak ditanggapi oleh Airlangga. Ia khawatir kondisi ini akan menimbulkan gejolak di internal partai."Seharusnya Airlangga belajar dari kepemimpinan sebelumnya, misalnya kepemimpinan Pak Jusuf Kalla. Beliau mengelola organisasi secara kolektif sebagaimana sifat Partai Golkar yang tertuang dalam aturan organisasi,” ujar Mirwan.
Apa kata milenial?
DW Indonesia meminta tanggapan milenial terkait isu ini. Salah satunya Algadri Muhammad (26), yang berpendapat bahwa munas seharusnya tetap dilaksanakan sesuai jadwal tersrtuktur Partai Golkar, yakni pada Desember 2019.
"Bagi Golkar secara umum tidak ada urgensi munas dimajukan ke Oktober, karena Bamsoet mau di Oktober sebelum Jokowi dilantik sehingga misal dia terpilih jadi Ketua Umum Golkar nama-nama menteri yang diajukan ke Jokowi adalah nama-nama menteri yang ia restui dalam tanda kutip. Munas sebelumnya juga di Desember, Airlangga ya meneruskan yang pernah dilakukan saja,” ujar Algadri saat dihubungi DW Indonesia.
Menurutnya wajar jika partai sekelas Golkar memiliki konflik di dalam tubuh partai, karena sudah menjadi beban logis sebuah partai besar. "Kalau (partai) besar konfliknya pasti selalu ada, dan Golkar pada akhirnya sebagai ibu dari segala partai, ada pecah jadi Hanura, Nasdem, Berkarya. Paling penting ya kepentingan umum partai disamakan. Menurut saya yang orang awam, kepentingan partai selama ini hanya terkait kepentingan masing-masing individu,” tambah Algadri.
Lukman (27), juga menganggap dualitas antara Airlangga dan Bamsoet merupakan sesuatu hal yang lumrah yang terjadi di dalam dinamika politik. Dia berpendapat, hasil pileg terakhir bisa dijadikan tolak ukur dalam mempertimbangkan siapa yang layak menduduki kursi Ketua Umum partai.
"Kalau saya lebih ke Bamsoet, Airlangga sempat memimpin, saya ga bilang gagal, tapi pilleg kemarin urutan ketiga, 2014 kedua, buat saya jadi tolak ukur kalau Golkar dipimpin dia kurang bisa menjaga suara, butuh suatu yang baru fresh. Bambang Soesatyo kalau kita ngomong milenial lebih bisa masuk sih,” terang Lukman.
Simbiosis mutualisme
Kepada DW Indonesia, pengamat politik dari Indonesia Political Review Ujang Komaruddin berpendapat, Golkar sudah terbiasa dengan kekuasaan sehingga tidak siap untuk menjadi partai oposisi. Inilah yang menyebabkan munas Golkar selalu menunggu restu dari pemerintah, dalam hal ini presiden.
"Pertama kekuatan uang finansial yang cukup. Yang kedua izin RI 1, ketika dia sudah mendapat izin RI 1 ya sudah menang dia. Ingat pertarungan Novanto dengan Ade Komaruddin, bagaimana Komaruddin didukung JK, Novanto didukung Jokowi, jadi yang didukung RI 1 lah yang menang. Kedua-duanya (Bamsoet dan Airlangga) kini sedang menunggu RI 1,” papar Ujang.
Menurut Ujang, kedua pihak memiliki kans yang sama untuk menduduki kursi Ketua Umum partai yang berdiri sejak 20 Oktober 1964 ini bergantung pada jadwal dan agenda munas. Lebih lanjut ia meyakini, siapa pun yang terpilih nantinya, dapat dipastikan internal partai juga akan ikut merapat karena sosok yang terpilih merupakan sosok yang direstui Jokowi.
"Semuanya bisa menjadi menteri, dengan keuntungan balik bahwa pemerintah bisa didukung oleh Golkar. Simbiosis mutualisme, secara sederhananya begitu,” pungkasnya.
rap/hp (dari berbagai sumber)