Peringatan Penyerahan Hong Kong ke Cina Diiringi Aksi Protes
1 Juli 2019Para pengunjuk rasa yang menentang RUU Ekstradisi kembali mengepung parlemen Hong Kong hari Senin (1/7). Massa mulai marah dan memecahkan jendela. Bentrokan keras terjadi dengan aparat keamanan menjerumuskan Hong Kong ke dalam krisis serius.
Puluhan ribu orang melakukan pawai besar dan damai di tengah kota dan menuntut agar pemimpin eksekutif Hong Kong yang pro Cina mundur. Namun ada kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari kaum muda bertopeng yang mencoba menerobos ke gedung parlemen.
Aparat keamanan berusaha menghalau mereka dan bentrokan kekerasan terjadi. Para demonstran muda itu melakukan berbagai cara untuk masuk ke gedung parlemen, antara lain dengan menggunakan gerobak besi sebagai pendobrak pagar dan pintu.
Polisi anti huru hara menggunakan gas air mata dan semburan larutan merica, sementara pengunjuk rasa menggunakan payung untuk melindungi diri. "Kami tahu ini melanggar hukum, tetapi kami tidak punya pilihan," kata seorang pemrotes berusia 24 tahun kepada kantor berita AFP.
Berawal dari penolakan RUU Ekstradisi
Aksi protes massalberlangsung sejak hari Minggu (30/6) dan beberapa kelompok kelihatan sudah tidak sabar karena dihadang pasukan anti huru-hara. Aksi protes ini berawal beberapa minggu lalu menentang RUU ekstradisi yang memungkinkan otoritas Hong Kong mengirim pelanggar hukum ke Cina daratan. Para pengunjuk rasa khawatir aturan itu akan menjadi alat penindasan kebebasan berpendapat dan hak asasi oleh pemerintah pusat di Beijing.
Hong Kong dikembalikan oleh Inggris ke Cina pada 1 Juli 1997, di bawah prinsip "satu negara, dua sistem". Artinya, konstitusi Hong Kong selama 50 tahun akan menjamin hak-hak politik dan kebebasan berpendapat warganya yang tidak ada di Cina daratan. Ketika itu Cina juga menjanjikan pemilu yang bebas, yang hingga kini tidak terlaksana.
Ketika pemerintahan otonomi Hong Kong yang didominasi politisi pro Cina siap memutuskan RUU Ekstradisi yang baru, warga Hong Kong lalu memobilisasi aksi protes massal yang disebut-sebut terbesar, sejak pulau itu dikembalikab ke Cina 22 tahun lalu.
Pemerintah otonomi Hong Kong mengecam aksi untuk rasa yang mereka sebut telah menggunakan "kekerasan ekstrem." Namun para aktivis mengatakan mereka akan melanjutkan aksi-aksi "pembangkangan sipil" sampai RUU itu dibatalkan. Selama ini pemerintahan otonomi mengatakan pembahasan RUU itu di parlemen dihentikan sampai situasinya tenang, tetapi tidak dibatalkan.
hp/ap (afp, rtr, ap)