AS, Inggris, UE Teken Perjanjian Internasional AI Pertama
6 September 2024Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), Inggris, dan beberapa negara lain resmi menandatangani perjanjian internasional pertama untuk Kecerdasan Buatan (AI) pada Kamis (05/09), ungkap Dewan Eropa.
Dikatakan bahwa perjanjian tersebut akan mengikat secara hukum tentang penggunaan sistem AI di dunia.
Apa yang dikatakan Dewan Eropa?
"Kita harus memastikan bahwa kebangkitan AI ini akan menjunjung tinggi standar-standar kita, dan bukan justru melemahkannya,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Eropa, Marija Pejcinovic Buric.
Ia juga mengatakan bahwa ini merupakan "perjanjian terbuka dengan potensi jangkauan global.” Buric pun mendesak agar lebih banyak negara yang menandatangani perjanjian ini, serta mendorong agar kesepakatan ini segera disahkan.
Buric juga menyebut bahwa perjanjian ini "menyediakan kerangka hukum yang mencakup seluruh siklus proses sistem AI.”
"Perjanjian ini mendukung kemajuan dan inovasi AI, seraya mengelola risiko yang mungkin ditimbulkan terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum,” tegasnya.
Perjanjian ini dibuka untuk dapat ditandatangani negara-negara lain pada konferensi para menteri kehakiman Dewan Eropa di ibu kota Lithuania, Vilnius.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Perjanjian ini dibuat hanya beberapa bulan setelah para menteri Uni Eropa memberikan persetujuan akhir terhadap Undang-Undang Kecerdasan Buatan pada blok tersebut, yang bertujuan untuk mengatur penggunaan AI di sektor-sektor yang "berisiko tinggi”.
Siapa lagi yang menandatangani perjanjian ini?
Selain UE, AS dan Inggris, perjanjian ini juga ditandatangani oleh Andorra, Georgia, Islandia, Norwegia, Moldova, San Marino, dan Israel.
Argentina, Australia, Kanada, Kosta Rika, Vatikan, Jepang, Meksiko, Peru, hingga Uruguay ikut terlibat dalam negosiasi perjanjian ini.
Dewan Eropa adalah organisasi yang berbasis di Strasbourg, Prancis yang bertugas menegakkan hak asasi manusia. Organisasi ini memiliki 47 negara anggota, termasuk 27 negara anggota Uni Eropa.
Namun, organisasi non-pemerintah (NGO) justru menyuarakan keprihatinannya. Francesca Fanucci, ahli hukum di European Center for Not-for-Profit Law (ECNL) yang berbasis di Den Haag, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa perjanjian ini telah "disederhanakan” menjadi seperangkat prinsip-prinsip yang begitu luas.
"Perumusan prinsip-prinsip dan kewajiban dalam konvensi ini sangat luas dan penuh dengan peringatan sehingga menimbulkan pertanyaan serius tentang kepastian hukum dan penegakan hukumnya yang efektif,” katanya.
Fanucci juga merujuk pada pengecualian sistem AI untuk tujuan keamanan nasional dan pengawasan yang terbatas terhadap perusahaan swasta dibanding dengan sektor publik.
kp/hp (Reuters)