Korupsi E-KTP Ujian Besar Bagi Indonesia
7 April 2017Kasus korupsi KTP elektronik selama beberapa waktu menjadi sorotan utama berbagai media di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga, setidaknya 37 orang, sebagian besar anggota parlemen dan politisi teras, terlibat dalam korupsi skala besar itu.
Dalam surat dakwaannya, KPK menyebutkan terjadi penyuapan secara terbuka dalam jumlah mulai dari US$ 5.000 sampai hingga US$5,5 juta. Ada uang yang dibagikan secara terbuka di sebuah kamar di parlemen. Yang terlibat terlibat termasuk anggota PDIP, partai Presiden Joko Widodo, anggota kabinet, ketua parlemen dan anggota partai oposisi.
Banyaknya anggota parlemen yang terlibat korupsi tidak mengagetkan publik Indonesia. Banyak orang menganggap hal itu memang sudah biasa. Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga anti korupsi Transparency International menunjukkan, publik Indonesia memang menganggap parlemennya sebagai lembaga paling korup di negara itu."Jika Anda melihat begitu banyaknya kasus korupsi dan menyimpulkan memang banyak sekali korupsi di Indonesia, itu betul. Tapi di sisi lain, Anda dapat melihat bagaimana sangat sulitnya Indonesia memberantas korupsi," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam wawancara dengan kantor berita Reuters soal E-KTP.
Meskipun ada upaya berulang-ulang oleh para politisi dan polisi untuk melemahkan KPK, lembaga itu tetap bertahan dam bahkan berkembang menjadi salah satu badan anti korupsi yang paling efektif dan independen di Asia Tenggara. Tahun lalu, ada 91 orang yang diusut, suatu rekor baru dalam 15 tahun sejarah KPK. "Tidak ada negara lain yang selama 10 tahun memenjarakan 9 menteri dan 19 pejabat tinggi lainnya serta anggota parlemen," kata Jusuf Kalla.
Forum Ekonomi Dunia untuk 2015-16 dalam laporan Global Competitiveness Report menyebutkan, data-data menunjukkan bahwa upaya mengatasi korupsi di Indonesia cukup berhasil. Indikasi anti korupsi menunjukkan "peningkatan pada hampir semua tindakan yang berkaitan dengan suap dan etika".
Meski demikian, Indonesia masih bertengger di peringkat 90 dari 176 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Transparency Internasional tahun lalu, setara dengan negara-negara seperti Liberia dan Kolombia.
KPK sendiri sejak lama menghadapi berbagai tekanan dan upaya pelemahan. Bahwa sebagian besar tersangka korupsi E-KPK berasal dari anggota parlemen dan partai pendukung pemerintah, membuat penyidikan rentan intervensi politik. "Sejak dari awal, kami memahami bahwa ini tidak akan menjadi proses yang singkat. Kami mengangggap ini seperti lari maraton," kata Ketua KPK Agus Rahardjo sambil menegaskan, lembaganya tetap akan mengejar "ikan-ikan besar" yang terlibat.
Ketegangan antara KPK dan DPR memang sudah terjadi sejak lama. Sebagian anggota DPR menuduh KPK punya motif politik dibalik pengungkapan kasus-kasus korupsi besar. Tapi KPK bersikeras melakukan tugasnya secara profesional dan mengklaim bahwa selama ini semua gugatan mereka dimenangkan di pengadilan.
Kalangan parlemen sebelumnya pernah mengusulkan untuk membatasai kewenangan KPK dan memberi wewenang kepada parlemen untuk menghentikan pengusutan kasus korupsi, jika hal itu dianggap perlu.
Sebuah tim ahli parlemen kini sedang mencari publik tentang untuk merevisi UU KPK. Mereka ingin agar KPK harus minta ijin terlebih dulu kepada parlemen sebelum melakukan penyadapan. Parlemen juga menuntut wewenang untuk menghentikan pengusutan korupsi dalam kondisi-kondisi tertentu.
hp/ap (rtr)