Dokter yang Gugur Karena COVID-19 Tanggung Jawab Pemerintah
7 April 2020Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sebanyak 24 dokter meninggal dunia terkait virus corona COVID-19. Dari rilis yang diterima DW Indonesia, 24 dokter tersebut terdiri dari 19 dokter umum dan spesialis, dan 5 dokter gigi. Tak hanya dokter, IDI juga mencatat 6 perawat meninggal dunia terkait virus corona.
Menanggapi ini, Ketua Umum DPP Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr. Mahesa Pranadipa menyerukan dilakukannya investigasi mendalam terkait penyebab kematian para petugas medis terkait pandemi virus corona di Indonesia.
“Harus diklarifikasi satu per satu meninggalnya karena memang terinfeksi COVID-19 pada saat pelayanan atau dia terinfeksi saat di luar pelayanan misalnya saat sedang kunjungan, itu berbeda kondisinya. Atau karena ada penyebab lain yang menyebabkan dokter tersebut atau tenaga kesehatan meninggal,” jelas Mahesa saat diwawancarai DW Indonesia, di Jakarta, Selasa (07/04).
“Kita baru bisa berasumsi meninggalnya karena terinfeksi pada saat pelayanan, pada saat misalnya karena APD kurang atau pada saat yang besangkutan membuka APD (terpapar virus corona),” ia melanjutkan.
Regulasi perlindungan terhadap petugas medis
Mahesa yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Etik dan Hukum RS Haji Jakarta, mengatakan banyaknya tenaga medis yang meninggal harus menjadi perhatian serius dari pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan sebagai “lembaga eksekutif yang berwenang dalam bidang kesehatan.”
Menurutnya Indonesia sudah mempunyai regulasi hukum mengenai perlindungan terhadap masyarakat maupun petugas medis terkait wabah penyakit menular, yakni Undangg-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
“Di situ disebutkan betul bahwa petugas kesehatan yang terlibat dalam proses penanggulangan harusnya dilindungi dan diberikan penghargaan,” terang Mahesa.
Lebih lanjut UU tersebut bisa “diharmonisasikan” dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. “Karena yang disebutkan dalam UU wabah dan kekarantinaan itu (perlindungan) adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” ujar Mahesa.
Sebelumnya dalam kunjungannya ke RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet (23/03), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan insentif bulanan kepada tenaga medis di tengah pandemi virus corona. Jokowi merinci besaran insentif bulanan yang akan diterima tenaga medis yakni 15 juta rupiah untuk dokter spesialis, 10 juta rupiah untuk dokter umum dan dokter gigi, 7,5 juta rupiah untuk bidan dan perawat, dan 5 juta rupiah untuk tenaga medis lain.
"Kemudian akan diberikan santunan kematian sebesar Rp 300 juta. Ini hanya berlaku untuk daerah yang sudah menyatakan tanggap darurat," tutur Jokowi.
Kekurangan APD
Kepada DW Indonesia, dr. Floriana Elfira Rosari Dugis, salah seorang dokter yang bertugas di Puskesmas Watu Alo, Kabupaten Manggarai, NTT, menyampaikan rasa prihatin sekaligus khawatir terkait banyaknya dokter yang menjadi korban di tengah pandemi virus corona di Indonesia. Ia mengaku saat ini petugas medis di fasilitas kesehatan tempatnya bertugas kekurangan alat pelindung diri (APD). Padahal APD sangat penting dalam memberikan perlindungan kepada petugas medis ketika melakukan kontak dengan pasien COVID-19.
“Sebagai manusia biasa jelas takut karena selain yang jadi korban bisa diri sendiri, bisa juga keluarga di rumah. Karena walau anak-anak dirumahkan (sekolah) kami tetap bekerja. Dengan APD yang minim bisa saja kami membawa pulang virus bagi keluarga di rumah,” jelas Floriana.
Floriana pun mengimbau kepada seluruh petugas medis yang tengah bertugas di tengah pandemi virus corona untuk tetap mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
“Harus tetap semangat dan itu pengabdian kita terhadap masyarakat terhadap negara ini dan itu sudah menjadi sumpah kita dari awal memilih menjadi tenaga medis. Jadi harus tetap semangat, jangan lupa tetap melindungi diri, jangan abaikan protap (prosedur tetap – Red) yang sudah terstandar. Memohon perlindungan Tuhan karena itu awal dari semua kehidupan kita,” paparnya.
Tak hanya di NTT, kekurangan APD juga dirasakan di Yogyakarta, salah satunya di RS Panti Rapih.
“Kondisi saat ini alat pelindung diri di RS Panti Rapih sudah menipis. Alat pelindung diri ini sangat penting untuk dapat menjamin tenaga kesehatan yang menangani pasien supaya tetap aman sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk mengatasi hal ini rumah sakit kami berinisiatif membuka donasi khusunya bantuan alat pelindung diri dari masyarakat mengingat kelangkaan alat pelindung diri di pasaran saat ini. Tentu saja sambil menunggu dukungan bantuan dari pemerintah pusat,” ujar direktur umum RS Panti Rapih Vincentius Triputro Nugroho dalam pernyataan resminya kepada DW Indonesia.
Kurangi jam praktik
Menyikapi banyaknya petugas medis yang meninggal terkait virus corona Covid-19, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun menerbitkan imbauan kepada seluruh dokter untuk mengurangi jam praktik tatap muka langsung dengan pasien. Imbauan ini tertuang dalam surat bernomor 02870/PB/A.3/04/2020 yang ditandatangani langsung Ketua Umum IDI Daeng Faqih.
"Mengurangi jam praktik tatap muka langsung dengan pasien kecuali kasus gawat darurat atau yang segera memerlukan penanganan. Merekomendasikan pemanfaatan konsultasi dengan pasien melalui platform telemedicine," demikian bunyi imbauan tersebut.
Selain itu, IDI juga mewajibkan petugas medis atau relawan yang menangani dan merawat pasien Covid-19 memnuhi tiga persyaratan, antara lain memastikan diri bahwa kondisi badan sehat secara umum, mengikuti pelatihan penanganan COVID-19 sebelumnya, dan mematuhi SOP pemakaian APD sesuai dengan petunjuk pencegahan penularan COVID-19. (rap,pkp/vlz)