PM Kamboja Hun Sen Siap Wariskan Kekuasaan untuk Putranya
24 Juli 2023Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Perdana Menteri (PM) Hun Sen telah mendeklarasikan kemenangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada hari Minggu (23/07), di mana partai ini hampir tidak mendapatkan perlawanan.
"Kami menang telak... tetapi kami belum bisa menghitung pasti jumlah kursi," kata Sok Eysan, juru bicara CPP. Diperkirakan, CPP yang telah lama berkuasa di Kamboja itu akan menyapu bersih kursi-kursi di parlemen.
"Rakyat Kamboja tidak akan membiarkan kelompok-kelompok curang menghancurkan negara ini," kata PM Kamboja Hun Sen, yang tampaknya merujuk pada kelompok oposisi.
Hun Sen telah menyatakan bahwa dalam sebuah transisi kepemimpinan yang hanya terjadi sekali dalam satu generasi itu, dia akan segera menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putra sulungnya, Hun Manet, untuk masa jabatan lima tahun mendatang.
Ada kemungkinan sebelum akhir Agustus mendatang, kepemimpinan pemerintahan Kamboja digantikan oleh pejabat-pejabat yang lebih muda, yang sebagian besar adalah anak-anak atau kerabat dari para petinggi partai yang berkuasa.
Suksesi antargenerasi
CPP pertama kali mengambil alih kekuasaan pada tahun 1979, setelah sekelompok pembelot Khmer Merah, termasuk PM Hun Sen, kembali bersama militer Vietnam untuk menggulingkan rezim genosida tersebut.
Hun Sen diangkat menjadi perdana menteri pada tahun 1985, yang menjadikannya kepala pemerintahan terlama di dunia.
Selain Hun Manet yang akan mewarisi jabatan ayahnya, putra-putra dari Menteri Dalam Negeri Sar Kheng dan Menteri Pertahanan Tea Banh, juga diperkirakan akan mewarisi jabatan ayah mereka.
Setidaknya dua pertiga dari kabinet, yang dikenal sebagai Dewan Menteri, akan memberikan jalan bagi para pejabat yang lebih muda, sementara sejumlah wakil perdana menteri dan menteri tanpa portofolio rencananya juga akan dirombak, menurut daftar calon internal yang bocor pada awal tahun ini.
Sejarah yang terulang kembali
Dengan demikian, pemilu kali ini akan kembali mengulang sejarah, seperti yang terjadi pada pemilu terakhir tahun 2018, di mana CPP memenangkan total 125 kursi parlemen, setelah secara paksa membubarkan saingan terkuatnya. Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) dijegal atas kasus tuduhan palsu perencanaan kudeta yang didukung oleh Amerika Serikat (AS).
Satu-satunya saingan CPP yang terkuat yakni Partai Candlelight dilarang ikut serta dalam pemilu hari Minggu (23/07) karena perselisihan dokumen. Keputusan tersebut dianggap "bermotif politik" oleh kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International.
Partai Candlelight yang memenangkan 22% suara populer pada pemilu lokal tahun lalu, mengklaim bahwa perselisihan dokumen tersebut adalah keputusan yang dibuat-buat.
Sejak awal tahun, pihak berwenang telah menutup kantor-kantor berita independen, memenjarakan sejumlah aktivis dan kritikus oposisi, dan melakukan uji kesetiaan di seluruh lapisan masyarakat. Diperkirakan, setidaknya lebih dari 6.000 anggota partai oposisi telah membelot ke CPP, baik karena ketakutan, insentif finansial, atau keinginan untuk hidup dengan tenang.
"Pemilu yang akan datang tidak sejalan dengan proses demokrasi yang sebenarnya," kata kelompok Human Rights Watch dalam sebuah pernyataan minggu ini.
PM Hun Sen tidak menyisakan satu pun peluang, sebagai bagian dari proses suksesi generasi yang akan membuat para anggota partai yang lebih muda mewarisi tampuk kekuasaan untuk memerintah sebuah negara yang rata-rata usianya hanya 26 tahun.
Seorang analis kebijakan di Akademi Kerajaan Kamboja Sam Seun mengatakan bahwa dia memperkirakan Hun Sen akan tetap menjabat sebagai perdana menteri setidaknya hingga tahun 2025 mendatang, untuk mengawasi generasi baru para menteri berusia mayoritas di umur 40 tahun.
Jika transisi tersebut berjalan dengan lancar, barulah PM Hun Sen akan mengundurkan diri dan memberikan kekuasaan kepada putra sulungnya, tambah Seun.
Tanggapan negara-negara Barat
Hubungan negara-negara Barat dengan Kamboja telah jauh memburuk sejak perubahan otoriter Phnom Penh pada tahun 2017 dan karena persahabatan Kamboja yang "sangat erat" dengan Cina.
Sebagian besar analis memperkirakan bahwa negara-negara Barat akan mengambil pendekatan untuk mengawasi, melihat, dan berharap bahwa pemerintahan Hun Manet yang tidak terlalu kuat pada akhirnya akan terlibat dalam pemulihan hubungan dengan negara Barat.
"AS dan Uni Eropa akan menyambut baik kesempatan untuk bekerja sama dengan wajah baru, tidak diragukan lagi," kata Sophal Ear, dekan dan profesor di Thunderbird School of Management di Arizona, AS.
"Namun, saya harap tidak perlu waktu 38 tahun lagi sebelum mereka menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan 'demokrasi' di Kamboja," tambahnya.
(kp/ha)