Politik Membelah Umat Muslim dan Kristen di Nazaret
3 April 2014Hingga pertengahan tahun lalu, Ramez Jaraisi dan Ali Salam adalah teman dekat. Walikota yang beragama Kristen dan wakilnya yang beragama Muslim itu bermitra dan sukses memimpin kota; perbedaan agama tidak menjadi masalah.
Namun begitu dua lelaki tadi bersaing dalam pemilihan walikota Oktober tahun lalu, segalanya berubah. Dengan hasil pemilihan suara yang tidak terpaut jauh, muncul tudingan adanya kecurangan. Jaksa agung Israel memerintahkan pemilu baru awal bulan Maret, yang kemudian dimenangkan oleh Ali Salam.
Di pasar setempat, para pemilik toko mengatakan rumor dan kampanye kotor saat pemilu mempengaruhi pemasukan. "Penjualan sedikit seret dan atmosfernya tegang," ujar Mohammed, seorang pemilik toko.
Mohammed menambahkan: "Menurut saya agama itu politik - di Nazaret para politisi sengaja menggunakan agama, mereka ingin naik hingga parlemen dengan membuat konflik antara Kristen, Muslim dan bahkan Yahudi. Ini sebenarnya dilarang. Tapi bagaimana lagi cara mereka menang 'perang'?"
Saat negara Israel didirikan tahun 1948, Nazaret adalah kota Kristen kecil. Arus pengungsi Muslim dari desa sekitar mengubah demografi, dan kini komunitas Muslim mencakup lebih dari 70 persen populasi karena angka kelahiran yang tinggi.
Adib Hazzan dari gereja Ortodoks Nazaret mengatakan kotanya selalu memiliki isu terkait agama, namun selama ini lebih di bawah permukaan: "Waktu saya kecil, kita tidak berbicara tentang Muslim atau Kristen. Sekarang kotanya membesar. Beberapa pinggiran kota hanya dihuni Muslim. Remaja mengetahui Kristen melalui sekolah, mereka tidak bertemu dengan penganut Kristen dalam kehidupan sehari-hari."
Belah dan kuasai?
Sebuah undang-undang, yang baru diloloskan pemerintah Israel dan menetapkan bahwa Kristen Israel tidak lagi dianggap 'Arab,' semakin menyulut konflik. Putusan ini diikuti proposal yang mengharuskan umat Kristen ikut wajib militer - hingga kini, seperti Muslim di Israel, penganut Kristen merupakan pengecualian dari wajib militer yang berlaku bagi warga Yahudi begitu memasuki usia 18 tahun.
Mohamed Zeidan, kepala Komisi Arab di Israel, mengkhawatirkan putusan ini akan semakin mengurangi dukungan bagi warga Palestina di Tepi Barat dan menuding pemerintah Israel melancarkan kampanye 'belah dan kuasai': "Pemerintah berusaha menggunakan apa yang terjadi di Suriah, Mesir dan Irak, untuk mengatakan bahwa ada perang melawan Kristen dan berusaha menakut-nakuti warga. Mereka mengatakan, waspada terhadap apa yang diperbuat kaum Muslim kepadamu."
Ujung-ujung ini tampak seperti pertarungan identitas, dan diharapkan label Arab akan melampaui masing-masing keyakinan, kata Zeidan: "Setiap orang punya agama sendiri. Yang satu pergi ke gereja, yang satu lagi ke masjid. Satu-satunya yang terpenting untuk menyatukan kami adalah asal-usul kami. Kami satu rumpun. Kami hidup bersama. Kami berbagi kebudayaan."