Politik Pertanian Masa Depan
30 Januari 2012Di Indonesia hidup sekitar 240 juta orang. Makanan pokoknya nasi. Dari hasil pertanian, sejauh ini kebutuhan beras bagi rakyat dapat dipenuhi. Tetapi jumlah produksi hanya 10% lebih banyak dari kebutuhan, dan jumlah penduduk terus bertambah. Teknik genetika kini digunakan dalam riset untuk meningkatkan produksi beras. Di laboratorium telah diuji sekitar 200 jenis padi, yang dapat menghasilkan panen satu setengah kali lipat.
Menteri Pertanian Asyraf Suswono mengatakan, "Kami mengharapkan kerjasama internasional dalam penelitian pangan. Kami mencari bibit baru dan kini mengembangkan jenis “Golden Rice”, yang mengandung lebih banyak vitamin A, jadi nilai gizinya lebih tinggi."
Tolak Teknik Genetika
Tetapi sebagian negara maju tidak bersedia menggunakan teknik genetika, terutama Eropa. Sebagai konsekuensinya, perusahaan kimia raksasa Jerman, BASF menyatakan akan memindahkan penelitian gen tekniknya dari Jerman ke AS. Dacian Ciolos, Komisaris Uni Eropa urusan pertanian dan pembangunan pedesaan mengatakan, orang tidak bisa beranggapan bahwa tumbuhan yang gennya dimanipulasi akan menyelesaikan semua masalah. Menurutnya, penelitian dan inovasi harus memberikan jawaban lebih jauh.
Dijelaskannya, "Tujuannya supaya kita dapat memenuhi kebutuhan. Jadi bukan saja dari segi jumlah tetapi juga kualitas, dan juga mempertimbangkan kelangsungan dan kelestarian penggunaan sumber daya alam. Penelitian sekarang diprioritaskan bagi politik pertanian masa depan. Saya pikir, metodenya juga harus memberikan produk yang diinginkan konsumen."
Keinginan Konsumen Berbeda-Beda
Tetapi apa yang diinginkan konsumen, apa yang jadi kebutuhan mereka dan apa yang kurang? Jawabannya berbeda-beda di semua bagian dunia. Di satu bagian, diinginkan adanya pertanian dengan mesin-mesin dan peralatan industri, dengan pupuk dan pestisida, yang menghasilkan produk massal. Produk kemudian diolah dan dijual perusahaan pangan internasional. Sedangkan di bagian lain, bahkan tanah, air dan bibit tidak ada untuk membuat lahan pertanian.
Namun demikian, José Graziano da Silva, direktur jenderal baru Organisasi Pangan Dunia (FAO), mengatakan persamaan ternyata ada. "Sekarang saja kita sudah memproduksi cukup bahan pangan bagi semua orang di dunia. Tetapi lebih dari satu milyar tetap kekurangan makanan. Di lain pihak hampir satu miyar orang menderita karena berat badan yang berlebihan. Masalahnya disebut kekurangan nutrisi. Orang punya kebiasaan makan yang salah. Kita sekarang butuh program makan dan pelatihan, dan itu harus jadi tujuan politik."
Bahan Pangan Tersia-Sia
Sepertiga pangan yang dihasilkan dunia kini terpaksa dibuang, karena dirusak hama, dan disimpan atau ditranspor dengan cara salah. Di samping itu, di negara-negara maju makanan disia-siakan. Setiah tahunnya, di negara-negara industri bahan pangan yang dibuang sama dengan jumlah yang diproduksi di negara-negara selatan Sahara.
Mentalitas membuang-buang makanan seperti itu tidak dapat ditoleransi lagi. Demikian kata Menteri Pertanian Jerman, Ilse Aigner. Menurutnya, warga Jerman memiliki masalah itu, karena punya bahan pangan jauh lebih banyak dari kebutuhan. Sementara harga pangan di Jerman kerap sangat murah mengingat adanya produksi massal, angka kelaparan di negara-negara lain meningkat akibat perubahan harga pangan beberapa bulan belakangan ini. Di Amerika Tengah dan Amerika Latin, FAO kini memberikan uang kontan kepada sekitar 120 juta orang, agar pemasukan minimal mereka terjamin.
Mengubah Paradigma Pertanian
Di samping itu, organisasi PBB itu menggalakkan dukungan bagi petani kecil. Kembali Direktur Jenderal FAO, da Silva. "Kita harus mengubah paradigma pertanian saat ini, yang berdasar pada penggunaan intensif sumber daya alam dan penggunaan zat kimia. Kita harus mengembangkan model yang memungkinkan kita meningkatkan hasil, sekaligus menggunakan lebih sedikit sumber daya alam. Itu tidak terlalu merusak lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan kata lain kita butuh revolusi hijau-hijau."
Ini adalah gagasan yang juga didukung pemerintah Jerman. Seperti ditegaskan Menteri Pertanian Ilse Aigner, seraya menambahkan, tanpa adanya pertanian yang produktif dan berkelangsungan, kelaparan tidak akan dapat diberantas. "Kita harus lebih menggalakkan tekad memerangi kelaparan, berkaitan dengan itu kita juga harus mempererat kerja sama internasional."
Yang penting adalah pengurangurangan jumlah lahan yang hilang, juga kehilangan akibat salah transpor atau salah penyimpanan, ungkap Aigner. Ia menekankan juga, dukungan bagi perempuan harus ditingkatkan, karena kaum perempuanlah yang harus memikul sebagian besar beban pertanian di negara-negara berkembang. 70% dari pekerja di pedesaan Afrika perempuan.
Penolakan terhadap Bahan Bakar dari Hasil Pertanian
Di samping itu juga dibutuhkan perdagangan yang berfungsi. Demikian Aigner. Memang masih belum jelas, apakah dan kapan pembicaraan aktual tentang perdagangan dunia dalam apa yang disebut Perundingan Doha dapat kembali menggerakkan semua anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tetapi dalam KTT para menteri pertanian di Berlin kembali dijelaskan, bahwa pembukaan pasar dan penghapusan subsidi ekspor sangat penting terutama bagi negara-negara berkembang.
Pengolahan bahan pangan menjadi bahan bakar bio dipandang negara-negara yang kelaparan dengan penuh kekhawatiran. Direktur Jenderal FAO, da Silva menandaskan sikapnya, "Hasil pertanian tidak boleh digunakan untuk membuat bahan bakar". Pengadaan makanan harus menjadi yang utama. Tetapi da Silva juga mengharapkan perbaikan teknologi di bidang pencarian bahan bakar alternatif.
Di Kalifornia dan di Chili utara sejumlah eksprerimen untuk membuat bahan bakar dari ganggang laut berjalan sukses. Ganggang tersebut tumbuh dalam jumlah sangat besar di dekat pantai Pasifik di wilayah AS. Jika pengolahan produk sampah dari pertanian juga berhasil, maka masalah persaingan antara piring dan tangki bensin tidak akan ada lagi.
Sabine Kinkartz / Marjory Linardy
Editor: Hendra Pasuhuk