Tragedi Mei 98, Jangan Terulang
11 Mei 2016Ratusan nisan tak bernama berjejer rapi. Di tengahnya, sebuah batu sederhana menyerupai bentuk lembaran kain yang sedang dijahit jarum raksasa, dengan benang kawat merah berdiri tegak. Jahitannya belum selesai. Tidak sulit menemukan makam massal korban tragedi 98 di TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur. Di papan penunjuk jalan terbaca lokasi persis tempat itu, Blad 27 Blok AAI.
Tahun lalu, setelah lobi intensif yang dilakukan Komnas Perempuan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama akhirnya meresmikan pembuatan prasasti Tragedi Mei '98 di TPU Pondok Ranggon. Menurutnya, prasasti ini dibangun sebagai salah satu bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan rasa keadilan, terutama bagi keluarga korban. Tiap tahun, selalu ada upacara kecil dilakukan oleh keluarga korban dan para pegiat kemanusiaan di TPU ini.
Mengingat apa yang pernah terjadi pada tanggal 13-15 Mei 1998, rasanya sulit percaya bahwa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi (TGPF) Mei 98 yang dibentuk pemerintah telah dengan rinci memberikan kisaran jumlah korban dan kerugian dari berbagai sumber.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan mencatat 1.217 korban meninggal dengan cara mengerikan. Korban luka berjumlah ratusan. Selain itu, ratusan keluarga kehilangan rumahnya karena dibakar dan lainnya kehilangan harta benda karena dijarah. Hal terburuk, sekitar 85 perempuan yang mayoritas beretnis Cina menjadi korban kekerasan seksual.
Hasil temuan terpenting dari TGPF adalah, tragedi Mei 98 tidak terjadi secara spontan, kerusuhan terjadi secara sistematis, terencana dan terbuka. Hingga saat ini, kelompok masyarakat sipil yang bekerja untuk isu hak asasi manusia masih terus berupaya memerjuangkan agenda penegakan hukum atas apa yang terjadi pada tahun itu.
Politik putus asa
Bukan hanya sekali dua kali saja kita mendengar ocehan jahat dari orang-orang yang dianggap tokoh dan memiliki pengaruh publik lumayan besar. Pertarungan kekuasaan menyebabkan mudahnya para politisi, tokoh dan pendukungnya mengeluarkan pernyataan provokatif dengan semangat untuk melemahkan lawan politiknya. Propaganda politik adalah hal lumrah dalam perebutan kekuasaan, namun apa yang saat ini sedang terjadi di Indonesia, menjadi sangat menguatirkan.
Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, sudah beberapa kali kita dengar serangan-serangan pernyataan berbau rasis dan agama yang ditujukan kepada salah satu kandidat bakal calon gubernur yang berasal dari etnis dan agama minoritas di Indonesia. Meski berdasarkan UU Pilkada 8/2015, pernyataan serangan berbasis SARA tidak dapat dibenarkan dan diancam hukuman pidana, namun banyak orang yang tak ragu melakukannya. Beberapa di antaranya melakukan dengan dalih mengikuti ajaran agama.
Bagi saya pernyataan paling jahat dan terdengar putus asa adalah pernyataan para tokoh yang mulai menggunakan tragedi Mei 98 untuk mengintimidasi lawan politik. Entah apa yang merasuki isi kepala para tokoh saat beberapa di antara mereka mulai dengan enteng menebar ancaman akan terulangnya tragedi Mei 1998 jika salah satu bakal calon gubernur yang beretnis Cina dan beragama Kristen terpilih. Pernyataan para tokoh ini seolah membuktikan satu hal, tragedi Mei 98 adalah tragedi yang bisa diatur dan direncanakan. Mengerikan.
Dalam power threat theory, Hubert Blalock (1967) menjelaskan bahwa kelompok mayoritas akan selalu berupaya memproteksi status dominannya dengan berlaku diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas akan dianggap sebagai ancaman, terlebih jika ada kompetisi ekonomi dan soal politik atau soal ekonomi politik. Tak heran jika lawan politik yang mewakili kelompok mayoritas akan menggunakan seluruh upaya untuk menekan pihak lawan yang dianggapnya representasi kelompok minoritas.
Hargai perbedaan, bersikaplah terbuka
Namun sebagai bangsa, apakah kita mau masuk dalam politik macam ini? Politik penyingkiran satu kelompok lainnya hanya karena perbedaan suku, agama, ras, orientasi seksual, identitas gender atau etniknya? Bukankah kita tak boleh berlaku diskriminatif atas dasar apapun? Bukankah kita harus menghargai perbedaan dan bersikap terbuka?
Oleh karena itu, di bulan Mei ini, para tokoh atau politisi frustasi sebaiknya berefleksi, membuka mata hati. Tragedi Mei 98 tidak boleh terulang lagi, tragedi ini semestinya haram untuk jadi barang dagangan politik apalagi dipakai untuk mengintimidasi. Indonesia harus jadi bangsa yang beradab, bukan bangsa yang biadab.
Penulis:
Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.
@tunggalp
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.