Politik Transaksional Pemilu Indonesia: Korupsi atau Depresi
5 Januari 2024Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tangerang tampak tak berbeda dengan pusat kesehatan lainnya yang ada di Indonesia, semua sama. Namun, tahun ini, rumah sakit ini kembali bersiap menerima calon legislatif (caleg) yang kemungkinan mengalami gangguan mental.
Dokter Jap Mustopo dengan spesialisasi kedokteran jiwa, kembali bersiap menerima caleg stres yang gagal pemilu. Kepada DW Indonesia, dia mengaku bahwa pada pemilu 2019 , dia juga hadir di rumah sakit untuk menerima caleg stres yang gagal karena tidak terpilih.
Pada dasarnya, prosedur penanganan caleg stres ini tak jauh berbeda dengan pasien lainnya. Mereka diminta untuk mendaftar terlebih dahulu, kemudian diperiksa sesuai urutan. "Jadi mereka datang ke sini pasti dengan keluhan," kata dokter Jap Mustopo kepada DW.
Para caleg yang gagal itu, kata dokter Jap Mustopo, nantinya bakal diwawancara supaya keluhannya bisa tersampaikan. Dia menyebut keluhan itu bisa berupa berbagai hal hingga mengarah ke bagian psikis.
"Susah tidur, terus merasa adanya kekecewaan, mungkin sudah banyak hal yang dikorbankan, yang dikeluarkan, ternyata harapannya enggak sesuai dengan kenyataan yang dialami," papar dia.
"Bisa seperti keluhan fisik atau keluhan yang lebih spesifik lagi. Keluhan-keluhan misalkan tadi cemas, merasa sedih berlebihan, atau mengurung diri atau dia malu keluar rumah, karena dia tidak terpilih, perasaan minder seperti itu," tambah dokter Jap.
Kenapa caleg gagal bisa jadi stres?
Organisasi nonpemerintah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyebut bias antara ongkos politik dan politik uang di masyarakat Indonesia sangat tipis. Saat ini, kampanye sudah mulai memberikan barang yang relatif tidak ringan, contohnya sembilan bahan pokok atau sembako.
"Cara menarik pemilih dengan pendekatan materialistis itu yang kemudian membuat politik kita biaya tinggi," kata peneliti Perludem, Titi Anggraini, kepada DW.
Adanya kebiasaan ini semakin membuat kampanye bersifat materialistis. Pemilih bahkan mencitrakan caleg itu sebagai orang yang akan memberikan sesuatu kepada mereka.
Selain itu, kata Titi, ada juga caleg yang mengikuti kontestasi secara tidak logis, tanpa mengetahui banyak informasi soal daerah pemilihan, sistem politik, hingga sistem pemilu. Caleg seperti ini kerap dimanfaatkan oleh oknum politik dengan janji bakal menang, jika menghamburkan uang sehingga hal ini membuat politik tidak lagi menjadi rasional dan logis.
"Akhirnya melakukan segala cara, bahkan semua aset, uang dikeluarkan, selesai pemilu kalah, di situlah kemudian jadilah ada caleg stres atau caleg yang marah kepada masyarakat, marah kepada konstituen sudah memberikan sesuatu tetapi tidak dipilih," ujarnya.
Menang, berpotensi korupsi
Permasalahan ongkos politik yang tinggi juga menjadi bumerang, tak hanya bagi caleg yang kalah, tetapi juga para pemenang pemilu yang berhasil duduk di parlemen. Mereka yang lolos diwajibkan membayar iuran anggota atau kader partai. Titi menilai hal ini dapat memicu perilaku koruptif.
Belum lagi, budaya materialistik yang sudah dilakukannya sejak kampanye sehingga saat mengunjungi daerah pemilihannya, mereka mau tidak mau harus memenuhi permintaan konstituen atau suara pemilihnya.
"Misalnya ingin biaya sekolah, biaya sakit, melahirkan, pendekatannya personal, bukan pendekatan programatik kebijakan," ucapnya.
Alasannya, kata Titi, pemenang pemilu itu menyetor dengan uang yang jumlahnya beragam. Namun, jika dilihat dari pendapatan resminya, jumlah itu tidak terlalu mampu untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut.
"Di situlah ruang, akhirnya praktik korupsi menjadi terbuka lebar untuk terjadi. Makanya kan sebagian besar kasus-kasus korupsi yang kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu, melibatkan kader partai politik," tegas Titi.
Masalah akuntabilitas dana kampanye
Pernyataan soal ongkos politik yang tinggi memang kerap muncul belakangan ini, meskipun pemerintah sendiri telah mengucurkan anggaran kepada parpol sebesar Rp126 miliar di tahun 2023. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2019 dan 2020.
Namun, masalahnya terletak pada kejujuran dan akuntabilitas dana kampanye. Pasalnya, kata Titi, informasi keuangan itu tidak terbuka dan dapat diakses oleh publik. "Jadi, pernyataan soal ongkos politik biaya tinggi itu tidak dikonfirmasi oleh laporan yang akuntabel dan bisa divalidasi oleh publik," jelas Titi.
Sehingga Titi mempertanyakan soal ongkos politik, biaya politik tinggi itu. Menurutnya, pernyataan itu tidak benar-benar terkonfirmasi dalam laporan dana kampanye.
Kembali ke dokter Jap, dia mengatakan kalau rumah sakitnya sempat menangani sekitar lima hingga 10 orang pasien caleg yang stres pada pemilu 2019 lalu. Jumlah itu terbilang sedikit, karena menurutnya juga ada pasien yang ditangani di beberapa rumah sakit lain.
Dia mengajak para keluarga untuk selalu memperhatikan sikap atau kebiasaan sehari-hari para caleg yang gagal terpilih nantinya. Menurutnya, perlu andil keluarga untuk memantau dan mengawasi semisal ada caleg yang mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan.
Reporter DW Indonesia Levie Wardana berkontribusi dalam liputan ini
(mh/ha)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!