Polusi CO2 Catatkan Rekor Baru pada 2021
21 Mei 2022Laporan yang dipublikasikan Badan Meteorologi Dunia (WMO), Rabu (18/5) silam, menyimpulkan betapa emisi karbondioksida selama tahun 2021 menempatkan iklim Bumi dalam kondisi yang kian terpuruk.
Pada tahun lalu, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer Bumi mencatat rekor tertinggi baru. Pada saat yang sama, ilmuwan juga mendokumentasikan tingkat keasaman dan suhu laut tertinggi sejak pencatatan iklim.
Di seluruh dunia, cuaca ekstrem memicu kerugian bernilai miliaran Dollar AS. Terutama kebakaran hutan, yang diperparah perubahan iklim, melumat ruang hidup bagi manusia dan hewan di sejumlah kawasan.
"Tahun-tahun yang dipenuhi investasi pada kesiapan bencana meningkatkan kemampuan kita untuk menyelamatkan nyawa manusia, meski kerugian ekonomi tetap tinggi,” kata Sekretaris Jendral WMO, Petteri Taalas. "Tapi masih banyak yang harus dilakukan.”
Setia pada bahan bakar fosil
Pada 2015, pemimpin dunia menandatangani Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan suhu Bumi menjadi maksimal 1,5 derajat Celcius di atas level pra-industri. Target itu ingin ditepati sebelum akhir abad.
Namun ilmuwan mewanti-wanti ambisi iklim tidak bisa dicapai tanpa langkah drastis dalam pengurangan emisi.
Kendati fenomena cuaca ekstrem yang kian marak, negara-negara pemimpin ekonomi di dunia seperti Amerika Serikat atau Cina, tetap mengucurkan duit untuk menambang serta menggunakan bahan bakar fosil. Kebijakan yang mereka jalankan diprediksi akan memanaskan suhu Bumi setinggi 2,7 derajat Celcius pada 2100.
Ilmuwan meyakini batas maksimal kenaikan rata-rata suhu Bumi sebesar 1,5° C sudah akan terlampaui dalam satu dekade ke depan.
"Di bawah level ini, dampak perubahan iklim masih bisa diatasi,” kata Omar Baddour, ilmuwan iklim di WMO. Jika suhu Bumi meningkat "di atas level tersebut, berarti akan sangat sulit untuk memitigasi konsekuensinya.”
Kenaikan suhu picu gelombang panas ekstrem
Suhu rata-rata selama tujuh tahun terakhir merupakan yang terpanas dalam sejarah, klaim lembaga PBB tersebut. Tahun lalu saja, temperatur Bumi berkisar 1,1 derajat Celcius lebih panas ketimbang suhu rata-rata antara 1850 dan 1900.
Pada Juli silam, lembaga penelitian World Weather Attribution (WWA) memastikan perubahan iklim memperparah gelombang panas di Amerika Serikat dan Kanada, beberapa pekan sebelumnya.
Kebanyakan korban merupakan kaum lansia yang rentan terkena sengatan panas. Tanpa emisi gas rumah kaca yang diproduksi manusia, potensi terjadinya gelombang panas berkurang sebanyak 150 kali lipat, dengan suhu rata-rata 2 derajat Celcius lebih rendah.
WWA juga menyimpulkan krisis iklim memperkuat curah hujan di Eropa sebesar antara 3 hingga 19 persen. Beberapa bulan silam, hujan ekstrem memicu banjir bandang di barat Jerman dan menewaskan 180 orang.
Saat ini, diperkirakan 1 dari 6 penduduk Bumi akan kewalahan menghadapi gelombang panas ekstrem di India dan Pakistan. Suhu yang tinggi tidak hanya mengancam kesehatan warga yang harus beraktivitas di luar, tetapi juga melumpuhkan produksi listrik.
Gelombang panas hanguskan hasil panen
India sedang menggodok rencana aksi untuk memitigasi dampak gelombang panas, kata Aditi Mukherji dari Institut Manajemen Air Internasional. Tapi menurutnya, negara-negara di belahan Bumi selatan harus menggandakan tekanan terhadap negara kaya sebagai produsen emisi terbesar.
"Kita tidak bisa beradaptasi dengan suhu panas yang ekstrem. Mitigasi adalah metode adaptasi terbaik,” kata dia.
Kawasan Asia Selatan, yang sudah menghadapi keterbatasan pangan akibat perang di Ukraina, kini harus berhadapan dengan ancaman kelangkaan pangan. Suhu panas dilaporkan merusak hasil panen di seluruh penjuru negeri.
Dengan terhentinya impor gandum dari Rusia dan Ukraina, India menghadapi lonjakan harga bahan pangan. "Situasinya sangat mengkhawatirkan,” kata Maarten Van Aalst, Direktur Pusat Iklim di Palang Merah Internasional. "Dengan semua krisis ini, mereka yang paling miskin dan paling rentan akan merasakan dampak terbesar.”
rzn/as