Potensi Perubahan Peta Ekonomi Dunia
21 Agustus 2011Saat-saat penuh ketidakpastian bagi perekonomian global. Pasar saham dunia bisa dibilang kusut. Hampir semua pasar saham di berbagai penjuru dunia berada di zona merah. Tidak hanya Amerika Serikat, tapi juga negara-negara Eropa tenggelam dalam timbunan utang. Perekonomian negeri Paman Sam bisa dibilang lumpuh. Begitu juga dengan perekonomian Eropa. Jerman yang tadinya menjadi pengecualian juga stagnan di kuartal kedua tahun ini. Sepertinya sudah tidak ada alasan lagi untuk bersikap optimis saat membicarakan masa depan perekonomian dunia.
BRIC dapat mencegah resesi baru?
Kalangan pasar saham mulai mengkhawatirkan potensi resesi global yang baru. Semua itu, menurut Michael Hüther, direktur Institut Ekonomi Jerman, sangat tergantung pada pertumbuhan pasar di negara-negara yang disebut-sebut sebagai negara ambang industri. Terutama negara-negara BRIC: Brasil, Rusia, India dan Cina.
"Seandainya negara-negara ini tidak terkena krisis internal, mereka akan menjadi raksasa ekonomi di masa depan. Dan itu tak lama lagi. Negara-negara BRIC di tahun 2015 sudah akan menghasilkan hampir 30 persen dari total produksi dunia. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari kontribusi zona Euro yang nantinya hanya mampu menyumbang 13 persen, padahal di tahun 1995 mencapai level 20 persen," jelas Hüther.
Negara-negara ambang industri akan memberi dorongan yang dibutuhkan hingga menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi global. Karena mereka membeli semakin banyak produk dari berbagai penjuru dunia, dan mereka berinvestasi besar-besaran di sektor infrastruktur. Sudah terlihat diantara tahun 2002 hingga 2010, negara-negara BRIC berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi global dengan peningkatan impor barang antara 12 hingga 20 persen. Kecuali tahun 2004-2005, jumlahnya melebihi Amerika Serikat. Cina selama ini berperan besar dalam perkembangan negara-negara BRIC. Lebih dari 60 persen pertumbuhan impor tersebut datangnya dari Cina. "Tetapi juga penting untuk memperhatikan bahwa proporsi ketiga negara BRIC lainnya semakin besar. Terutama India dan Rusia semakin maju," tambah Hüther.
Prediksi pertumbuhan BRIC
Tahun depan saja, jumlah investasi negara-negara BRIC bagi infrastruktur di negara masing-masing sudah hampir menyaingi negara-negara terindustrialisasi. Ini patut dicermati, karena sepuluh tahun lalu volume investasi negara-negara maju mencapai empat kali lipat dibandingkan negara-negara BRIC. Perkembangan semacam ini terutama menguntungkan Jerman. Beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa pentingnya peran negara-negara ambang industri sebagai partner perdagangan Jerman.
Ekspor Jerman ke berbagai penjuru dunia dari tahun 2005 hingga 2010 meningkat secara keseluruhan sebesar 21 persen. Hebatnya, pengiriman produk-produk Jerman ke Brasil, Rusia, India dan Cina di periode yang sama melejit hingga 107 persen. Produk-produk yang diekspor datang dari industri tradisional Jerman. Seperti dijelaskan Michael Hüther, "Sekitar 30 persen dari total impor negara-negara BRIC dari Jerman adalah produk-produk mesin. Produk otomotif sebesar 22 persen, 17 persen dari industri elektronik, dan 15 persen datang dari produk-produk kimia. Pertimbangan negara-negara ambang industri ini adalah Jerman menyediakan produk-produk industri yang berkualitas tinggi. Ini berarti model bisnis perekonomian Jerman yang kerap dikritik di tahun 2009-2010, sesungguhnya menunjukkan pola sukses."
Tahun lalu perusahaan-perusahaan Jerman menjual produk bernilai sekitar 100 miliar Euro ke negara-negara BRIC. Jumlah ini tiga kali lipat dari volume ekspor ke Amerika Serikat. Perekonomian Jerman akan meraup keuntungan, bukan hanya dari sektor ekspor berkat ledakan di pasar negara-negara ambang industri. Sebuah survei yang digelar Institut Ekonomi Jerman di musim semi tahun ini menunjukkan bahwa semakin banyak perusahaan Jerman yang menanamkan modal di negara-negara BRIC. Jumlah investasi Jerman di tahun 2015 diprediksi mencapai seperempat dari total penanaman modal asing yang mengalir ke Brasil, Rusia, India dan Cina.
Sabine Kinkartz/Carissa Paramita
Editor: Christa Saloh-Foerster