Presiden Myanmar: Hargai Pilihan Rakyat
26 Maret 2012Presiden Thein Sein yang sejak tahun lalu mempercepat reformasi di Myanmar berusaha memastikan pemilihan umum berlangsung bebas dan adil. "Wajar jika ada yang kalah dan menang pada pemilu sela. Kita harus bekerjasama untuk memastikan hasil pemilu dapat diterima semua orang," imbau Sein dalam sebuah pidato yang diterbitkan corong pemerintah The New Light of Myanmar. "Setiap partai harus siap kalah dan menghormati keputusan rakyat," tambahnya.
Pemilu sela Myanmar yang digelar tanggal 1 April mendatang dipandang sebagai ujian penting terhadap komitmen pemerintah meneruskan reformasi yang telah memungkinkan partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), kembali berkancah di dunia politik. Suu Kyi untuk pertama kalinya ikut bersaing dalam pemilu, setelah beberapa dekade lamanya negeri itu didominasi junta militer.
Pemilu yang lebih baik?
Pemilu tahun 2010 yang mengangkat sekutu politik junta militer ke kursi kekuasaan diwarnai tuduhan kecurangan dan intimidasi. Saat itu Suu Kyi tidak ikut serta karena masih berstatus tahanan rumah. Kali ini pemerintahan sipil mengundang Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan pengamat lainnya untuk mencermati pemilu Myanmar.
Thein Sein bahkan mengakui terdapat sejumlah kesalahan pada surat suara. Pekan lalu NLD melaporkan nama ratusan orang yang sudah wafat dalam daftar pemilu. Sementara lebih dari 1.300 pemilih sah tidak terdaftar.
NLD tidak akan mampu meruntuhkan mayoritas partai yang berkuasa dalam pemilu sela, namun para pengamat yakin pemerintahan Sein menginginkan Suu Kyi untuk memenangkan kursi di parlemen sehingga memberi legitimasi terhadap reformasi Myanmar serta mendorong dunia Barat untuk meringankan sanksi.
Kembalinya para disiden
Para pembangkang yang hidup di berbagai penjuru dunia berdatangan ke Myanmar untuk melihat sendiri kemurnian kampanye reformasi. Kebanyakan masih memilih hidup di luar negeri, namun mereka mengakui adanya perubahan besar di negara Asia Tenggara yang hingga tahun lalu dipimpin junta militer tersebut. Salah satunya Aye Chan Naing yang selama ini memimpin organisasi Democratic Voice of Burma dari Norwegia.
Organisasi Aye Chan yang selama 2 dekade menyiarkan berita-berita independen pernah dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional oleh pemerintah Myanmar. Sekarang Aye Chan melaporkan dirinya telah melewati perbincangan positif dengan pejabat-pejabat pemerintah dan menemukan secercah harapan dalam kunjungannya selama 5 hari ke Myanmar. Aye Chan mengakui warga sudah dapat berbicara dengan bebas tanpa diikuti, ditangkap atau dihukum.
Selama bertahun-tahun, 17 reporter Democratic Voice of Burma dijebloskan ke penjara. Kini kembali ke tanah kelahirannya setelah hampir seperempat abad, Aye Chan diterima dengan baik oleh polisi imigrasi yang memperbolehkannya masuk Myanmar seraya tersenyum. Meski ia mengaku prihatin melihat negaranya. "Banyak tempat yang terlihat sama persis dengan 23 tahun lalu. Seakan waktu berhenti di tahun 1988," ratapnya.
Seruan untuk pulang
Bulan Agustus lalu, Presiden Thein Sein menyerukan kepada para disiden untuk kembali ke Myanmar. "Namun setengah tahun kemudian masih belum ada kebijakan resmi. Tidak ada strategi untuk menarik kami pulang," jelas Aung Zaw, seorang disiden yang mendirikan surat kabar independen Irrawaddy di Thailand.
Investor asing mulai berdatangan ke Myanmar untuk mengambil peluang iklim perubahan. Jumlah turis juga meningkat. Namun Aung Zaw mengatakan jumlah pembangkang yang kembali ke Myanmar hanya puluhan. Itu pun sekedar berkunjung. "Pemerintah butuh keahlian dan pengetahuan kami untuk membangun kembali negeri, tapi mereka tidak memberi insentif atau jaminan apapun. Kami belum yakin pintunya benar-benar terbuka. Jadi belum ada yang cukup nyaman untuk pulang," tegasnya.
Carissa Paramita/afp/ap
Editor: Andy Budiman