Proyek Penanaman Hutan di Asia
1 September 2011Selain menjadi negara dengan jumlah pembalakan terbesar, Indonesia juga menjadi negara yang menyebabkan emisi gas rumah kaca terbesar lewat pembakaran. Pemerintah Indonesia kini berusaha menghentikan semua itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan tahun ini moratorium tentang ijin pembalakan hutan. Namun demikian, jumlah hutan Indonesia terus berkurang. Moratorium saja tidak cukup. Demikian pendapat banyak pakar. Indonesia juga harus menanam pohon besar-besaran, untuk mengkompensasi wilayah hutan yang hilang.
Studi RRI
Beberapa negara Asia lainnya, yaitu Korea Selatan, Vietnam, Cina dan India, sudah berhasil dalam upaya penanaman kembali. Demikian hasil studi Rights and Resource Initiative atau RRI, sebuah ikatan organisasi, yang ikut berperan dalam reformasi politik di bidang penggunaan hutan dan hak tanah. Andy White, koordinator jaringan Rights and Resource Initiative (RRI), mengatakan, keberhasilan beberapa negara dilandasi perubahan dalam peraturan hak kepemilikan dan penggunaan hutan.
Negara-negara yang memberikan hak lebih luas bagi pemerintah lokal serta warga asli dalam penggunaan hutan, lebih berhasil dalam upaya penanaman kembali, daripada negara-negara yang tidak mengikutsertakan mereka. Demikian hasil studi baru RRI. Studi RRI diadakan di lima negara, yaitu Cina, Korea Selatan, Vietnam, India dan Chili. Hutan baru dalam jumlah besar dapat dilihat di Cina. Antara tahun 1990 dan 2010 Cina mengadakan penanaman hutan besar-besaran. Pemerintah Cina menyatakan, jumlahnya hampir 50 juta hektar.
Li Ping, dari organisasi non pemerintah Landesa, sebuah institut untuk pembangunan daerah pedesaan mengatakan, terobosan itu bisa dicapai karena adanya reformasi peraturan tentang tanah hutan yang diadakan awal abad ini. Pemerintah Cina membagikan 90% wilayah hutan yang selama ini digunakan bersama kepada sejumlah petani. Para petani dapat menggunakan petak hutan selama lebih dari dua generasi, hingga 70 tahun. Li Ping mengemukakan juga, “Sebagai perbandingannya, pekerja di daerah-daerah hutan milik pemerintah hanya pekerja yang disalurkan makelar. Mereka tidak punya hak bicara sama sekali, jadi mereka juga tidak peduli apa yang terjadi pada hutan untuk jangka panjang. Mereka bekerja sehari dan mendapat upah untuk sehari. Begitu saja.“
Para petani menginvestasikan dana di petak tanah hutan mereka bukan hanya untuk mereka saja, melainkan juga untuk generasi-generasi berikutnya. Dan mereka boleh menggunakan hasil huta bersama-sama. Memang para petani diberikan kebebasan untuk menentukan pohon mana yang akan ditanam. Tetapi ketentuan juga ada. Daerah hutan tidak boleh diubah menjadi daerah pertanian. Selain itu pohon-pohon hanya boleh ditebang, jika para petani punya ijin untuk menebang.
Definisi Hutan
Tetapi pohon yang hanya berjumlah 100 tidak bisa disebut hutan. Kritikus mengutarakan, statistik sering dimanipulasi. Perkebunan kadang juga disebut daerah hutan, padahal kawasan itu jauh berbeda dari kawasan hutan, seperti halnya lahan golf yang hijau sangat berbeda dengan padang rumput alami. Koordinator organisasi Rights and Resources Initiative atau RRI berargumentasi, definisi hutan bukan hanya jadi masalah debat politis melainkan juga teknis. Dari sudut pandang iklim menarik untuk dilihat, seberapa banyak emisi dapat diserap pepohonan. Sebuah hutan tropis yang alami dapat menyerap sekitar 306 ton karbon dioksida per hektar, sedangkan perkebunan kelapa sawit hanya mampu menyerap 63 ton. Jadi tentu lebih baik jika hutan tidak ditebang.
Andy White menambahkan, “Tentunya juga benar, bahwa perkebunan kelapa sawit lebih dapat menyerap CO2 daripada lapangan parkir atau tambang. Tanah dapat digunakan untuk banyak hal. Sebuah perkebunan kelapa sawit tetap lebih baik daripada ladang kedelai atau perkebunan tebu. Itu juga berkaitan dengan keputusan politis yang berbeda.“
Yang juga menjadi keputusan politis adalah, darimana sebuah negara mengambil pasokan kayu. Berkaitan dengan itu, penulis studi RRI juga memandang keterangan pemerintah Cina tentang penanaman hutan dengan kritis. Hutan Cina antara lain tetap lestari, karena pemerintahnya membeli kayu dari negara lain. Jadi negara seperti Cina dan Vietnam, bisa dibilang, ibaranya mengekspor pembalakan hutan. Demikian kritik Dominic Elson yang menulis laporan RRI. Ia mengemukakan, “Pemerintah Cina dan Vietnam kemungkinan tidak menyangka itu sama sekali. Ketika mereka mengimpor kayu murah dari Indonesia, Cina dan Vietnam dapat menanami hutan dengan tanaman yang berguna. Dengan demikian mereka tidak akan kekurangan bahan baku.“
Elson menekankan, itu bukan strategi yang layak ditiru. Tetapi keinginan politis yang ditunjukkan Vietnam dan Cina, untuk menghentikan penebangan hutan di negara sendiri, bisa dijadikan panutan. Selain itu hak mengemukakan pendapat bagi warga yang tinggal di daerah hutan atau sekitarnya juga penting, demikian Dominic Elson. Jika itu tidak diperhatikan, konflik bisa timbul dengan mudah. Misalnya di India. Negara itu membanggakan diri, telah menanami sejumlah daerah untuk dijadikan hutan, tetapi penanaman hutan menyebabkan kemarahan masyarakat. Seperti dijelaskan aktivis hutan Madhu Sarin sambil tertawa, “Sebuah alasan, mengapa pemerintah sekarang beranggapan, bahwa mereka berhasil menanam hutan baru adalah, karena departemen kehutanan begitu saja menanam pohon di tanah pribadi milik warga. Jadi penduduk melawan.”
Hak Kepemilikan Hutan
Sekarang undang-undang baru rencananya akan melindungi hak kepemilikan hutan dan hak menggunakannya. Tetapi undang-undang yang dikeluarkan pemerintah pusat pelaksanaannya berbeda, dari satu negara bagian ke negara bagian berikutnya, demikian Madhu Sarin. Yang penting, di daerah di mana penduduk mengetahui hak-hak mereka, mereka akan memperjuangkan hak ikut menentukan. Di negara bagian Orissa, misalnya. Di daerah itu, pemerintah India memperbolehkan sebuah perusahaan baja Korea Selatan merambah hutan.
Itu adalah investasi langsung dari luar negeri di India, demikian Madhu Sarin. “Tetapi penduduk desa, anak-anak, perempuan dan pria, memblokir jalan masuk dengan berbaring di tanah. Polisi yang bersenjata lalu datang dan berusaha memindahkan mereka dari daerah itu, tetapi penduduk desa tidak takut, mereka tidak bersedia menyerahkan tanah mereka. Jadi terjadi konfrontasi yang serius,” demikian paparnya.
Konflilk-konflik menyangkut hak penggunaan tanah dan kepemilikan tanah juga ada di Indonesia. Tetapi juga langkah-langkah baru yang positif, untuk mengikutsertakan penduduk lokal. Kuntoro Mangkusubroto, petugas khusus pemerintah Indonesia untuk masalah program perlindungan hutan PBB, yang disebut REDD menekankan, bagi Indonesia belum terlambat. Dengan dukungan negara-negara donor, terutama Norwegia, yang memberikan persetujuan bantuan satu milyar Dolar bagi perlindungan hutan belantara Indonesia, pemerintah kini berjanji, hingga 2020 akan mengurangi emisi yang disebabkan perusakan hutan, sebanyak 41%. Tanpa dukungan internasional, sasarannya hanya 26%. Kuntoro Mangkusubroto mengatakan dengan yakin, itu pasti bisa kita capai sendiri, jika kita mengikutsertakan masyarakat lokal.
Ziphora Robina / Marjory Linardy
Editor: Ayu Purwaningsih