Punahnya Keragaman Hayati Ancaman Terbesar bagi Umat Manusia
22 Juni 2022Disadari atau tidak, planet Bumi sedang memasuki gelombang kepunahan massal. Dari sekitar delapan juta spesies hewan, jamur, dan tumbuhan, hanya segelintir yang sejauh ini sudah didokumentasikan ilmu pengetahuan, menurut Dewan Keragaman Hayati Internasional (IBPES).
Studi teranyar menyebut Bumi akan kehilangan hampir satu juta spesies pada tahun 2030. Saat ini saja, satu spesies flora dan fauna diyakini punah setiap 10 menit, tanpa pernah diketahui keberadaannya.
Hal ini fatal, karena Bumi yang telah kehilangan keragaman hayatinya adalah tempat yang berbahaya bagi semua mahluk hidup, termasuk manusia.
Jelang akhir tahun nanti, PBB akan menggelar Konferensi Keragaman Hayati ke15 di Montreal, Kanada. Sebanyak 200 negara akan ikut serta menggodok kerangka kerja bagi perlindungan keragaman hayati. Naskah rancangan kesepakatan sedang digarap dalam sebuah konferensi pekan ini di Nairobi, Kenya.
Apa itu keragaman hayati?
Studi teranyar oleh Leibniz Research Network for Biodiversity menekankan betapa keragaman spesies di Bumi berpengaruh terhadap hampir semua aspek kehidupan manusia.
"Entah itu udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan, atau pakaian, bahan bakar, bahan bangunan, atau obat-obatan – kehidupan kta, nutrisi dan kesehatan kita, semua bergantung kepada keragaman sumber daya yang disediakan oleh alam,” tulis ilmuwan.
Kepunahan massal spesies terutama berpotensi memicu bencana bagi sektor farmasi. Saat ini banyak jenis obat-obatan, termasuk 70 persen obat-obatan kanker, diambil dari saripati tumbuhan.
"Pengetahuan yang dihimpun selama 3,5 miliar tahun evolusi alam disimpan di dalam keragaman biologis,” kata Klement Tockner, Direktur Sanckenberg Society for Nature Research, sebuah lembaga penelitian di Frankfurt, Jerman.
"Kepunahan progresif kapital ekologis kita adalah ancaman terbesar bagi umat manusia,” imbuhnya. "Karena sekali hilang, ia tidak akan pernah kembali.”
Apakah kepunahan sejumlah spesies berakibat fatal?
Sepanjang sejarah Bumi, sudah beragam spesies yang hidup, berkembang dan akhirnya punah. Namun, belum pernah laju kepunahan terjadi secepat seperti sekarang ini.
Menurut Lembaga Pendidikan Sipil Federal di Jerman, antara 1970 dan 2014, populasi satwa vertebrata di seluruh dunia menyusut sebanyak 60 persen. Angka kemunduran di Amerika Selatan dan Tengah bahkan mencapai 90 persen. Pada waktu yang sama, sebanyak 83 persen spesies satwa air tawar juga dinyatakan punah.
Johannes Vogel, Direktur Museum Sejarah Alam di Berlin, mengatakan kepunahan pada satu genus bisa memiliki dampak berlipat pada keseluruhan ekosistem, termasuk kepada manusia.
"Banyak spesies kodok yang saat ini bermatian karena adanya jamur yang menyebar di seluruh dunia akibat perubahan iklim,” kata dia. "Kodok memangsa jentik nyamuk. Artinya akan ada lebih banyak nyamuk di masa depan, dan nyamuk menyebabkan lebih banyak kematian ketimbang organisme lain di Bumi.”
Kenapa perlindungan keragaman hayati sulit?
Sudah sejak 1992, Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan mengadopsi Konvensi Internasional untuk Keragaman Hayati (CBD).
Di bawah konvensi itu, semua negara berkomitmen mempromosikan ekonomi berkelanjutan yang beroperasi di bawah batas kapasitas ekologis planet Bumi. Meski adanya perjanjian lanjutan, hampir tidak ada target yang ditetapkan tiga dekade lalu itu sudah tercapai.
Andrea Perino dari German Centre for Integrative Biodiversity Research di Universitas Halle-Jena-Leipzig, mengatakan kebanyakan negara indusrti maju hanya mendeklarasikan niat, dan sedikit menjalankan komitmen yang sudah dibuat.
Terlebih, PBB belum memiliki perangkat untuk mengevaluasi kemajuan target CBD di setiap negara. "Sering kali tidak jelas apakah langkah perlindungan yang diambil benar-benar efektif atau tidak,” kata Perino lagi. "Kita benar-benar membutuhkan pemantauan komperhensif sesegera mungkin.”
Apa agenda perundingan aktual?
Kepunahan massal keragaman hayati di Bumi ikut bersinggungan dengan krisis iklim yang sedang bereskalasi. Namun, berbeda dengan bencana iklim, kepunahan spesies hewan atau tumbuhan jarang mendapat perhatian.
Kenaikan suhu dan perubahan kondisi iklim termasuk motor utama kepunahan spesies. Sebab itu, kedua masalah harus dipecahkan bersama-sama, kata Tockner. "Renaturalisasi, seperti pembasahan kembali lahan gambut, tidak hanya melindungi keragaman hayati, tapi juga iklim,” tuturnya.
Dalam perundingan dini jelang Konferensi Keragaman Hayati PBB di Nairobi, Kenya, para peserta mengumumkan niat menempatkan 30 persen lahan dan perairan di dunia di bawah perlindungan selambatnya pada 2030.
Perino menyambut deklarasi tersebut, tapi mempertanyakan istilah "perlindungan” yang digunakan. Karena menurutnya, "alam sering kali berhasil mengembalikan keseimbangan hayati bukan berkat perlindungan, tetapi melalui renaturalisasi.”
(rzn/ha)