Qatar: Musuh Di Jantung Teluk?
Perpecahan antara Qatar dan negara Teluk memuncak pada isu Iran. Tapi perselisihan telah lahir sejak beberapa dekade sebelumnya, menyusul sikap Mesir dan Arab Saudi yang ingin mendominasi haluan politik di Timur Tengah.
Berawal dari Pidato Sang Emir
Perselisihan Qatar dengan negara-negara Teluk telah berlangsung sejak dua dekade silam. Namun pidato Emir Tamim bin Hamad al-Thani pada Mei 2017 yang secara terang-terangan menyatakan dukungan terhadap Iran, Hamas dan Ikhwanul Muslimin menutup pintu rekonsiliasi antara lima negara minyak di Teluk Persia.
Kebohongan Lewat Media
Seakan belum cukup, kantor berita pemerintah Qatar, QNA, lalu menerbitkan berita yang menyebut Doha menarik duta besar dari Arab Saudi, Bahrain, Mesir dan Uni Emirat Arab setelah menemukan adanya "konspirasi" melawan Qatar. Meski dibantah pemerintah di Doha, laporan tersebut kadung memicu ketegangan politik di Teluk.
Eskalasi di Arab Saudi
Terutama kritik Tamin al-Thani terhadap sentimen anti Iran di Timur Tengah dianggap lancang. Setelah kunjungan Donald Trump ke Riyadh, Arab Saudi berusaha menekan negara-negara Timur Tengah yang masih menjalin hubungan baik dengan Iran. Trump sempat bertemu dengan Hamad al Thani di sela-sela kunjungannya di Riyadh. Tapi tidak jelas apakah keduanya membahas Iran dan terorisme
Dukungan Samar Terorisme?
Perpecahan di Teluk tidak terlepas dari kebijakan luar negeri Qatar. Sejak lama negeri kecil itu bersitegang dengan AS meski bekerjasama erat di bidang militer. Washington terutama mengritik lemahnya Undang-undang anti pendanaan terorisme dan luasnya dukungan di Qatar terhadap kelompok jihadis Islam di kawasan.
Kisruh di Palestina
Qatar sejak lama juga menjalin hubungan erat dengan Hamas. Deklarasi Hamas pada Mei 2017 yang mengubah haluan perjuangan menjadi lebih moderat juga diyakini dibuat atas desakan Doha yang ingin menjauhkan citra negara penyokong terorisme. Pada dasarnya negara Teluk lebih suka menjalin hubungan dengan Fatah di Tepi Barat Yordan ketimbang Hamas yang bertautan dengan Ikhwanul Muslimin.
Antara Kudeta dan Kudeta
Keretakan antara Qatar dan negara-negara Arab dimulai pada kudeta damai Sheikh Hamad bin Khalifa terhadap ayahnya pada Juni 1995. Sang ayah, Emir Khalifa bin Hamad, adalah penguasa kesayangan Arab Saudi dan Mesir. Namun puteranya Hamad lebih memilih jalur independen dalam meracik politik luar negeri. Tahun 1996 sebuah kudeta yang diduga didalangi Mesir dan Arab Saudi gagal menjatuhkan Sykeih Hamad
Independensi Politik
Sejak itu kebijakan luar negeri Qatar sering bersebrangan dengan Arab Saudi. Doha antara lain menjalin hubungan erat dengan Israel dan Iran (pada gambar tampak Sykeih Hamad bin Khalifa bersama bekas Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad). Hal tersebut dianggap duri dalam daging oleh Riyadh. Namun dukungan Qatar terhadap gerakan Islam garis keras di Timur Tengah mulai terlihat selama Musim Semi Arab.
Hujan Duit buat Konflik
Doha tidak hanya menyokong Dewan Transisi Nasional di Libya, tetapi juga mendanai kelompok pemberontak Suriah dengan dana sebesar tiga milyar Dollar AS pada dua tahun pertama perang saudara. Financial Times juga melaporkan Doha menawarkan paket evakuasi senilai 50.000 Dollar AS untuk keluarga para gerilayawan.
Gagalnya Manuver Riyadh
Negara-negara Teluk pernah berupaya menghentikan kebijakan Doha pada 2014. Namun saat itu pemerintah Qatar mengklaim dukungan terhadap kelompok bersenjata di Timur Tengah berasal dari masyarakat, bukan pemerintah. Antara tahun 2002 hingga 2008 Arab Saudi bahkan menarik duta besarnya untuk memaksa Doha mengubah haluan. Namun manuver tersebut gagal menggerakkan Qatar.
Arus Balik di Doha?
Pengamat yakin Qatar yang lemah harus memutar haluan politik luar negerinya agar selaras dengan keinginan AS dan Arab Saudi. Washington antara lain bisa memaksa Doha untuk mencekal petinggi Hamas dan menghentikan aliran dana buat kelompok bersenjata di Suriah dan Libya. Sebaliknya hal ini akan mengakhiri independensi politik luar negeri Qatar untuk waktu lama. (Sumber: Reuters, AP, BBC, Aljazeera)