Revitalisasi Dasar Sungai, Petani India Atasi Kelangkaan Air
1 Oktober 2021Krishna Narode, 26, dari desa Gangapur di negara bagian Maharashtra di India barat, tampak sangat bersemangat saat mengamati lahan pertanian seluas empat hektar tempatnya membudidayakan berbagai tanaman dan buah-buahan, seperti pepaya, tebu, gandum, dan jahe.
Beberapa bulan lagi ia akan panen dan Narode tahu usahanya akan membuahkan hasil sejak ia berubah mengandalkan praktik pertanian alami.
"Saya berharap bisa menghasilkan setidaknya 600.000 rupee (sekitar hampir Rp 200 juta) dari panen saya tahun ini. Pada tahun 2016, saya hanya menghasilkan sedikit uang, hingga nyaris menyerah. Namun berkat metode pertanian baru yang kami pelajari, hasilnya dapat membantu komunitas kami," kata Narode kepada DW.
Beberapa kilometer dari lahan pertaniannya, Mangala Maruti Waghmare, petani perempuan berusia 51 tahun, juga berharap memperoleh rejeki nomplok tahun ini dari hasil penjualan produk stik drum, olahan buah apel, dan mangga. "Buah saya enak dan akan dijual dua kali lipat dari harga pasar umum," kata Waghmare kepada DW.
Latur, salah satu distrik di Marathawada, adalah daerah rawan kekeringan. Daerah ini terkenal karena kelangkaan air dan tingginya tingkat bunuh diri para petani. Lima tahun lalu, pihak berwenang harus mengerahkan kereta khusus untuk memasok air ke wilayah tersebut. Polisi bahkan dikerahkan untuk berjaga di luar penampungan air, waduk, dan titik distribusi.
Revitalisasi dasar sungai hasilkan perubahan dramatis
Namun sebuah inisiatif yang dipimpin oleh petani bernama Mahadev Gomare, dengan bantuan sekelompok penduduk desa yang berkomitmen, telah mengubah keadaan yang menyedihkan ini. Beberapa tahun yang lalu, mereka meremajakan sungai Manjara sepanjang 143 kilometer dan anak-anak sungainya yang merupakan sumber air utama bagi sekitar 500.000 orang di 900 desa.
Lebih dari 900.000 meter kubik lumpur dikeruk dari dasar sungai, memberinya kehidupan baru. Kemampuan sungai untuk mengisi ulang air tanah berkurang secara signifikan karena endapan lumpur menumpuk di dasarnya. Setelah dikeruk, lumpur kemudian digunakan di ladang untuk membantu meratakan lahan pertanian.
"Setelah sungai dihidupkan kembali, ketersediaan air meningkat, dan inisiatif lain untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan ekologi daerah itu dimulai," kata Gomare kepada DW.
Para petani juga mendapat bantuan teknis dari Yayasan Art of Living, yang ahli dalam peremajaan sungai, drainase, struktur bronjong dan penahan air hujan di sungai dan anak sungai. Sejak itu, sebagian besar petani yang tinggal di desa ini tidak lagi mau menoleh ke belakang.
Sejak itu, komunitas petani secara bertahap beralih ke sistem pertanian alami, penghijauan, agroforestri, perhutanan sosial, pertanian tahan iklim, serta pembibitan untuk menghijaukan daerah tersebut dan membantu meningkatkan hasil pertanian.
Ekosistem seluruh desa ikut merasakan dampak positif karena lebiih banyaknya ketersediaan air, yang kemudian ikut menghasilkan manfaat sosial ekonomi yang signifikan. Perubahan tersebut menyebabkan transformasi dramatis dalam kehidupan petani. "Ini memakan waktu, tetapi tenaga kami telah membuahkan hasil dan sekarang kami melihat banyaknya senyuman di wajah para petani," kata petani lainnya, Kaka Sehab Sindi.
Usaha mengubah nasib sendiri
Menurut data pemerintah, jumlah petani kecil dan marjinal di India yang mengolah lahan kurang dari dua hektar mencapai 86% dari total 146 juta usaha pertanian di India. Berdasarkan data tersebut, memperkenalkan teknologi dan praktik baru ke sejumlah besar petani kecil yang tersebar di pedesaan yang luas dan mengintegrasikannya dengan pasar modern adalah tantangan besar negara itu.
"Kami tahu para petani di luar Delhi tengah memperjuangkan undang-undang yang menjamin harga dukungan minimum untuk produk mereka, tetapi kami memutuskan untuk mengubah nasib kami sendiri," kata Ambalesh Kashinath, seorang petani tanaman sereal.
Awal tahun ini, di pinggiran Delhi, ribuan petani dari negara bagian utara Punjab dan Haryana telah berunjuk rasa awal selama berminggu-minggu menentang UU Reformasi Agraria oleh pemerintah yang dipimpin oleh Partai Bharatiya Janata oleh Perdana Menteri Narendra Modi.
"Para petani di seluruh negeri tidak senang dengan apa yang terjadi pada pendapatan mereka dan ini semakin tercermin dalam protes mereka," kata petani bernama Pandu Gangadar kepada DW. "Kami memahami mengapa petani Punjab marah karena dihapuskannya pembeli grosir yang dikelola negara dan pasar yang menjamin harga minimum," tambahnya.
Namun alih-alih mengandalkan bantuan pemerintah, para petani di Marathwada mendatangkan sendiri perubahan nasib mereka pada perubahan pengelolaan tanaman, yang mengarah pada hasil panen yang lebih baik, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan ketahanan terhadap dampak buruk perubahan iklim. (ae/vlz)