Ribuan Bocah Filipina Dipaksa Layani Pedofil
4 Februari 2016Ibabao adalah sebuah desa nelayan dengan jalan berbatu, berkerumun pohon kelapa dan gereja. Di sini, di selatan Filipina, semua saling kenal. Ikatan keluarga dan masyarakat mendominasi struktur sosial. Saking kuatnya, rahasia bisa tersimpan selamanya.
Di bilik-bilik bambu dan rumah bertembok batu bata berhias patung Bunda Maria, anak-anak terbiasa melakukan adegan seksual di depan kamera. Mereka dipaksa oleh tetangga atau bahkan orangtua sendiri.
Video yang pembuatannya dibayai oleh kaum pedofilia dari seluruh duna itu disiarkan langsung via internet. Tarifnya hingga 100 US Dollar sekali tayang. Penduduk yang dulu melaut pun kini banyak yang berubah profesi menggotong kabel atau memanggul lampu.
Ibabao bukan lagi desa nelayan. Tetapi menjelma menjadi neraka cabul buat anak-anak. Dan Ibabao bukan kasus unik di Filipina.
Layanan Cabul di Dunia Maya
Wisata sex virtual sedang menggeliat di Asia Tenggara. Filipina, Kamboja dan bahkan Indonesia tergolong negara yang paling banyak menawarkan layanan cabul semacam itu. Organisasi HAM memprediksi jumlah bocah yang dijadikan budak seks di Filipina mencapai puluhan ribu.
Fenomen muram di Filipina tidak terlepas dari tingginya minat konsumen di seluruh dunia. Kepolisian Federal AS, FBI, memprediksi setiap hari sektar 750.000 pedofil memenuhi 400.000 ruang chatt di internet buat mencari kontak dengan bocah di bawah umur.
Tahun 2013 silam organisasi HAM, Terre des Hommes, membuat insiatif mengidentifikasi pedofil di internet. Para aktivis mengklaim diri sebagai seorang bocah perempuan Filipina berusia 10 tahun bernama "sweetie". Untuk meyakinkan lawan bicaranya, mereka memuat sebuah foto animasi bocah perempuan.
Dalam sepuluh pekan akun "Sweetie" berhasil menjaring 20.000 pedofil di seluruh dunia yang memaksa sang bocah membuat video seks. Sejauh ini baru tiga pria yang berhasil ditangkap oleh Interpol.
Pemerintah Kewalahan
Kendati telah memiliki Undang-undang yang melarang seks cyber sejak 2012, pemerintah Filipina kesulitan menjaring pelakunya. "Masalahnya adalah kebanyakan produsen wisata sex virtual beroperasi di rumah pribadi dan penggerebekan membutuhkan izin pengadilan," ujar Dolores Alforte, anggota Komnas Anak-anak Filipina.
Terlebih kebanyakan pelaku berasal dari kota atau desa seperti Ibabao. Mereka telah menerima prostitusi anak sebagai sesuatu yang lumrah. "Penduduk desa biasa menutup mulut jika kepolisian mencoba mengusut", tutur Alforrte.
Polisi misalnya mengeluhkan, orangtua atau saudara korban menganggap biasa bahwa anaknya melakukan adegan seksual di depan kamera. Mereka berdalih hal tersebut tidak bisa disamakan dengan prostitusi karena tidak adanya hubungan badan secara langsung.
Trauma Berkepanjangan
Anak-anak yang menjadi korban wisata seksual virtual, kerap dilecehkan dan menderita depresi.
Seperti seorang remaja putri bernama Sarah yang berhasil melarikan diri dari neraka seperti di Ibabao. Sejak berbulan-bulan ia menjalani terapi yang disediakan sebuah organisasi perlindungan anak Filipina.
Kendati berangsur normal, Sarah masih diliput trauma. Kenangan buruk akan para lelaku yang membayarnya untuk telanjang masih segar di kepala. "Saya membenci mereka semua," tukasnya. "Saya ingin mereka menderita di neraka!"
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!