1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Raksasa Energi Dunia Lewatkan Momentum Iklim

20 Maret 2024

Derasnya transisi energi tidak mendorong industri minyak dan gas mengurangi kapasitas produksi sesuai permintaan global yang kian menurun. Sebagian besar enggan menepati komitmen iklim, menurut riset Carbon Tracker.

https://p.dw.com/p/4dvyK
Lapangan Gas Nahr Bin Omar di Irak
Lapangan Gas Nahr Bin Omar di IrakFoto: Haidar Mohammed Ali/AFP/Getty Images

Hampir satu dekade setelah Perjanjian Paris pada tahun 2015, industri minyak dan gas masih belum mencapai target penghematan emisi, demi membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.

Kesimpulan itu dihasilkan Carbon Tracker, sebuah wadah pemikir berbasis di London yang memantau pengaruh pasar keuangan dan investasi pada perubahan iklim. Evaluasi tersebut membandingkan 25 perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia, termasuk BP, TotalEnergies, PetroChina dan Saudi Aramco.

"Korporasi besar di seluruh dunia sudah secara terbuka menyatakan dukungan bagi Perjanjian Paris dan mengklaim menjadi bagian dari solusi dalam mempercepat transisi energi,” kata Maeve O'Connor, analis energi di Carbon Tracker yang ikut menulis riset. "Namun sayangnya, kami melihat saat ini tidak ada satupun yang sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris,” tambahnya.

Laporan tersebut menuntut tanggung jawab perusahaan energi dalam mempengaruhi perubahan iklim, dengan mulai mengurangi bahan bakar fosil, yang masih merupakan penyumbang terbesar pemanasan global.

Transisi ke Energi Terbarukan?

BP yang terbaik dari yang buruk

Analisa data publik oleh Carbon Tracker menyimpulkan, setiap perusahaan minyak dan gas dinilai berdasarkan lima indikator, yakni rencana investasi, proyek yang sudah disetujui, rencana produksi, target emisi dan kompensasi bagi tenaga eksekutif.

Perusahaan yang mendapat peringkat terbaik adalah raksasa minyak asal Inggris, BP, meskipun nyaris gagal dengan nilai D. Carbon Tracker mencatatat, BP "masih mengeksplorasi cadangan baru di enam benua dan merencanakan peningkatan yang signifikan dalam portofolio gas alam cair.”

Di antara perusahaan minyak dan gas besar yang dianalisis oleh Carbon Tracker, BP masih menjadi satu-satunya perusahaan yang berupaya memangkas produksi energi fosil pada tahun 2030. 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tiga perusahaan Eropa lainnya, Repsol dari Spanyol, Equinor di Norwegia dan Shell yang berbasis di Inggris, cuma berkomitmen tidak menambah kapasitas produksi. Adapun Chesapeake Energy di AS seharusnya sudah mulai mengurangi produksi pada tahun 2024, meski belum memiliki strategi jangka panjang yang jelas.

Kebanyakan perusahaan yang dievaluasi oleh Carbon Tracker masih berencana untuk memperluas produksi bahan bakar fosil hingga satu dekade ke depan. Pada level ekstrem, ConocoPhillips  berniat meningkatkan produksi sebesar 47% selama lima hingga delapan tahun ke depan, dibandingkan volume produksi tahun 2022.

Rencana ekspansi perusahaan multinasional Amerika Serikat itu bertentangan dengan tren dekarbonisasi global. Dalam laporan World Energy Outlook tahun lalu, Badan Energi Internasional, IEA, memproyeksikan permintaan bahan bakar fosil akan mulai menurun dalam waktu dekat.

"Momentum transisi energi membuat permintaan global terhadap batu bara, minyak dan gas alam memuncak sebelum tahun 2030,” menurut laporan IEA. Tren ini meningkatkan risiko suplai berlebih, terutama jika industri migas bersikeras melanjutkan rencana ekspansi di masa depan.

Tren Futuristik bagi Masa Depan Niremisi

"Perusahaan harus memahami bagaimana peralihan dari bahan bakar fosil ke teknologi ramah lingkungan bisa berdampak pada keuntungan mereka,” kata Mike Coffin, pakar utama Carbon Tracker di bidang minyak, gas, dan pertambangan, September lalu. "Mereka terus memaksakan risiko bisnis kepada investor karena gagal merencanakan pengurangan produksi seiring dengan semakin cepatnya transisi energi.”

Minim minat dekarbonisasi industri energi

Empat dari lima perusahaan sektor energi dengan skor tertinggi berbasis di Eropa. Sementara posisi terbawah tabel didominasi oleh perusahaan Arab Saudi, Brasil dan Amerika Serikat.

Hampir semua perusahaan mencatatkan kinerja buruk jika dibandingkan dengan target emisi yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Hanya satu perusahaan, ENI Italia, yang menurut Carbon Tracker "berpotensi” selaras dengan tujuan Paris. Artinya, perusahaan bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 di seluruh siklus hidup energi, mulai dari penambangan, pengolahan hingga emisi dari konsumsi bahan bakar.

Dalam analisisnya pada tahun 2023, Badan Energi Internasional menulis, sebagian besar perusahaan energi belum bersedia menanggung emisi dari konsumsi bahan bakar. Mereka sebaliknya hanya mengukur emisi dari aktivitas produksi, transportasi dan pengolahan yang cuma berkontribusi sebesar 15 persen dari total emisi gas rumah kaca bahan bakar fosil.

"Hanya sebagian kecil dari komitmen ini yang mampu mengimbangi laju penurunan emisi sesuai skenario emisi nol bersih pada tahun 2050," menurut laporan Carbon Tracker. "Sebagian besar perusahaan berencana menggunakan skema pengalihan karbon untuk mencapai target pengurangan emisi."

Skema pengalihan karbon mengizinkan produsen emisi gas rumah kaca untuk menebus dosa dengan membiayai proyek penghijauan. Meski berkesan hijau, cara ini tidak mengurangi jumlah emisi yang dilepaskan ke atmosfer Bumi dan cenderung digunakan perusahaan untuk mengulur masa transisi.

Faye Holder, analis lingkungan di LSM Influence MAP, meyakini perusahaan energi tidak berniat mempercepat aksi iklim dan dekarbonisasi.

"Mereka melakukan lobi melawan kebijakan-kebijakan yang memaksakan perubahan tersebut,” katanya. "Dan pada saat yang sama, mereka mempromosikan narasi kepada publik bahwa mereka telah mengupayakan segala hal."

rzn/as