Rocky Gerung: 12 Menit Usai Prabowo Dilantik, Saya Kritik
12 April 2019Di sebuah kedai kopi di seberang Taman Menteng, Jakarta, Rocky Gerung mengucap ramalan muram tentang Pemilu Kepresidenan 2019. Dia berpendapat, nihilnya keberanian untuk rekonsiliasi dari kedua kubu akan berujung pada konflik horisontal baru.
Untuk mendamaikan keduanya dibutuhkan poros ketiga yang kadung tergerus oleh dua kekuatan politik yang sedang bersaing di Senayan. Apakah Partai Demokrat yang dia maksud? Soal ini Rocky bergeming.
Dalam perbincangan dengan reporter DW Rizki Nugraha, Rocky mengaku tidak frustasi jika ucapannya sering disalahpahami. Dia menghayati peran antagonis tersebut, selama bisa memicu diskursus publik yang sehat.
Namun tidak sedikit yang menudingnya ikut merawat pola komunikasi dehumanis, lantaran acap melontarkan hinaan kasar yang melukai harkat dan merendahkan martabat. “Saya menikmati kedunguan mereka,” kata dia. Simak wawancara lengkapnya berikut ini:
DW: Bung Rocky, Anda lebih merasa sebagai pendukung Prabowo Subianto atau oposan Joko Widodo?
Rocky Gerung: Saya itu mendukung kepentingan masyarakat bebas. Karena Jokowi menutup ruang kebebasan makanya saya tidak memilih dia. Sering disebut saya mendukung Prabowo, saya tidak pernah mendukung Prabowo. Atau Rocky Gerung sedang menggelar karpet merah buat Prabowo, saya katakan nggak, saya nggak menggelar karpet merah, dia punya kapet sendiri silakan bawa ke istana warnanya macam-macam. Tapi supaya karpet baru di istana bisa digelar karpet merah di istana mesti digulung, saya mau gulung itu.
Kenapa 2019 butuh presiden baru?
Karena problem kita itu adalah membersihkan jalan dari 2019 ke 2024 untuk periode sekarang, yang tidak sempat kita lakukan pemerintahan sekarang karena ditahan oleh threshold 20 persen yang saya ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Ini mengapa kita terjebak oleh fanatisme sekarang karena tidak ada alternatif, tidak ada jalan ketiga, tidak ada capres alternatif karena ditutup oleh pemerintah dengan strategi threshold itu. Makanya itu kita bawa ke Mahkamah Konstitusi, tapi MK menolak, bahkan diputuskan setelah kampanye sudah mulai. Itu kemungkinan akal demokrasi Mahkamah Konstitusi menjadi mahkamah konstipasi. Tidak bisa mengolah buah demokrasi karena dia sembelit melulu.
Menurut Anda masih ada tempat untuk poros ketiga?
Kalau sekarang sudah terlambat, karena fanatisme itu sudah mengeras, sudah mengkristal, itu akibatnya. Jadi salah pemerintah kenapa tidak membuka ruang itu sejak awal. Kenapa harus pasang threshold padahal sistem kita presidensial. Threshold itu sistem parlementer, kita presidensial jadi tidak pakai threshold. 'Kan dari awal memang ada kecurangan secara kelembagaan dan secara hukum, dengan memasang threshold itu sudah kecurangan pertama.
Jadi poros ketiga tidak memiliki tempat karena belum ada kesadaran politik?
Karena poros ketiga mesti ada outlet-nya, outlet-nya ditutup. Karena itu saya ingin 2019 mendatang buka outlet baru untuk generasi baru, sekarang sudah terlambat nggak ada peluang untuk membikin forum ketiga itu. Mungkin kita mesti bayangkan bahwa satu hari setelah quick count akan ada ketegangan baru dan itu mesti ada tokoh-tokoh alternatif yang berupaya untuk menjadi semacam juru bicara akal sehat. Saya membayangkan ada rektor di situ, ada ulama. Saya tidak di situ saya hanya mensponsori ruangan itu, jadi keterangan akademis untuk perlunya poros ketiga atau forum ketiga itu justru karena kita mendeteksi pengkubuan itu sudah sampai pada tingkat kristal. Mana rektor yang rada ada otak dan rada punya passion terhadap demokrasi, mana ulama yang dengan kualitas yang sama, mana LSM yang punya semangat untuk menahan konflik horizontal, tidak ada karena semuanya ada di istana. Supaya gumpalan energi itu tidak berubah jadi perang jalanan, kita salurkan energi yang menggumpal itu melalui akal sehat LSM, akal sehat ulama, akal sehat kampus, dan itu yang tidak ada.
Anda tergolong figur yang mempolarisasi atau bahkan sering disebut antagonis, apa Anda menikmati peran itu?
Saya menikmati kedunguan mereka, karena mereka menjebakkan diri sehingga akhirnya susah untuk mengucapkan hal lain selain dua periode. Apa dalilnya dua periode? Itu yang saya bongkar. Dari segi demokrasi? Justru indeks demokrasi kita di mata internasional turun karena Perppu dikeluarkan, pengerahan ASN (Aparatur Sipil Negara) segala macam, Perppu ormas terutama itu 'kan fundamental dalam hak asasi manusia. Mau dia punya mimpi punya fantasi negara di akhirat entahlah suka-suka dia tapi jangan diatur mencegah orang berpikir alternatif.
Menurut Anda untuk mencegah tumbuhnya gagasan transnasional Islam, pemerintah merenggut hak fundamental?
Iya, itu hak paling fundamental orang.
Mana yang lebih berbahaya, ancaman kelompok konservatif Islam atau sikap pemerintah yang cenderung mempersempit ruang demokrasi?
Poinnya begini, pemerintah itu tidak boleh menuntut orang untuk menyamakan pikiran di dalam fantasi masa depan. Yang boleh dilarang adalah bila terjadi perencanaan awal misalnya untuk mengganti dasar negara, itu dilarang, itu karena ada konstitusi. Ini fantasi orang, yang harusnya diselesaikan lewat percakapan demokratis bukan dilarang atau dihentikan melalui Perppu. Semua Perppu itu dengan sendirinya tidak melalui rapat publik, itu adalah hasil keputusan intelijen, itu yang saya tentang. Nilai demokrasi bukan begitu.
Apakah menurut Anda mereka yang mendukung kekhalifahan Islam bisa hidup di bawah Pancasila?
Apa hak mereka untuk menolak yang sebaliknya. 'Kan dia punya bayangan, dia bisa isi Pancasila dengan imajinasinya terserah dia. Justru karena Pancasila ideologi terbuka maka semua orang bisa bebas berfantasi. Mau bikin negara islam, mau bikin negara kerajaaan, mau bikin negara kesultanan, ya boleh aja sejauh itu fantasi politiknya. Itu yang mesti dijamin UU, lain kalau ada ketetapan bahwa Pancasila ideologi tertutup yang ini boleh yang ini tidak boleh, bukan ideologi tertutup bahkan Pancasila bukan ideologi negara. Itu orientasi publik yang tidak boleh diinterpretasikan secara tunggal oleh negara. Sebab kalau jadi ideologi negara, orang akan tanya ketuhanan yang maha esa agama apa yang hanya boleh di Indonesia, 'kan tidak dibilang agama apa yang hanya boleh. Ini ini ini dan lain-lain, begitu yang disebutkan dalam peraturan perundangan. Lima negara dan lain-lain,sudah.
Menurut Anda hal itu tidak mengancam demokrasi?
Tidak mengancam selama diajukan di forum publik jadi dialirkan gagasan itu supaya didebatkan oleh pers oleh LSM dan terutama oleh kampus. Kampus saja sekarang dilarang ngomongin itu. Pandangan politik saya sekuler, karena itu saya ingin seluruh fasilitas publik disediakan untuk mengolah pikiran apapun itu prinsip sekuler. Bukan ateis. Cuma itu yang bisa mencairkan ketegangan-ketegangan ideologis di kita, hanya ruang itu. Kalau ruang itu dikendalikan oleh negara, orang akan anggap negara akan berpihak, berpihak pada siapa? Ya berpihak pada orang yang proideologi negara. Ideologi pemerintah bukan ideologi negara. 'Kan tidak ada tanda-tanda akan ada penumpukan senjata ditaruh di depan Monas terus menghalau pemerintah yang sekarang, 'kan ga ada. Jadi kenapa dilarang, bikin HTI misalnya, saya bukan pro-HTI, saya proorang untuk tahu apa itu HTI. Saya pro-212, nggak saya nggak pro-212, saya propublik yang ingin tahu apa itu 212, 'kan ga dikasih tahu apa itu 212. Semua pers dilarang memberitakan peristiwa di Monas.
Kenapa kita masih gagal memahami konsep kebebasan individu?
Ya gagal karena arogansi kekuasaan, ya sebetulnya karena kedunguan presiden, bukan dianya bukan personalnya. Tapi kedunguan mengolah public issues, kemampuan dia untuk membaca semua variable politics, kemampuan dia untuk membaca asal-usul perdebatan ini perdebatan ideologi sejak zaman awal kemerdekaan, soal piagam jakarta, 65, dia tidak punya pengertian itu. Jadi kalau dia dinasihati oleh berbagai macam orang, dan menerima semua briefing itu, dia tidak punya filter dan itu yang berbahaya.
Sebenarnya apa daya tarik utama Jokowi?
Saya tidak tahu. Kesan saya ada satu masa di mana semua kedunguan itu bersatu untuk mempertahankan diri, saya kira begitu. Sama kayak you bertanya kenapa orang Jerman mempunyai pemikiran analitis abstrak bisa ditipu propaganda Goebbels, sama aja. Metode propagandanya bukan pak Jokowinya, hegemoni itu bisa masuk pada setiap momentum sejarah dan lapisan apa saja. Misalnya dipromosikan jalan tol, itu bagian dari propaganda 'kan? Sehingga ada orang misalnya di Jawa Timur sangat pro-Jokowi hanya karena Jokowi bangun jalan tol. Kalau saya tanya 'Anda punya mobil buat jalan tol? Tidak saya cuma punya motor’ apa pentingnya, dia cuma punya motor bekas yang ga mungkin lewat jalan tol tapi dia pro. Itu karena dicitrakan jalan tol itu adalah solusi semua soal padahal jalan tol bikin desa terbelah, desa utara sama selatan tidak lagi akrab karena tidak bisa saling berkunjung ada jalan tol. Anak di desa utara yang lagi pacaran sama desa selatan putus gara-gara ga bisa malam mingguan lagi. Warteg di sepanjang Pantura tutup karena orang langsung cari makan ke Semarang. Begitu banyak paradoks.
Pada paslon mana nasib minoritas bisa lebih baik?
Itu problem yang harus kita hadapi, bukan yang kita proyeksikan pada siapa. Kita tahu itu tidak akan selesai, tapi kita mesti pastikan yang sekarang ini justru memprovokasi problem itu, misalnya Pancasila versus khilafah itu bagaimana mungkin. Ada suara dari istana, langsung bikin postulasi bahwa pemilu hari ini adalah konfrontasi antara khilafah dan Pancasila. Oleh karena itu kita harus perang total. Perang total ke siapa? Ke khilafah? Khilafah itu mayoritas. Ide tentang khilafah. Mesti itu harusnya dibicarakan di forum akademis, bukan dipastikan sebagai musuh.
Meskipun menurut berbagai survei tidak banyak penduduk Indonesia yang benar-benar tertarik pada gagasan kekhalifahan di Indonesia..
Iya, bahkan hitungan saya 14 persen yang betul-betul punya pandangan semacam itu, dari 14 persen itu yang intinya mungkin cuma 2 persen. Tapi kenapa 2 persen itu dimanipulasi seolah-olah itu bahaya laten karena itu dia harus disingkirkan, dari 2 persen naik jadi 4 persen lama-lama 80 persen dianggap khilafah coba. Namanya politik hegemoni semacam itu.
Anda dekat dengan siapa di kubu 01?
Itu kan teman-teman saya, anak-anak LSM, alumni LBH, alumni SETARA, alumni segala macam. Itu kan komunitas akal sehat demokrasi dulu, yang waktu dulu dia masuk 01 seharusnya dia beroperasi di situ untuk memperluas ruang demokrasi itu, tapi dia tutup ruang itu sendiri. Kenapa? Karena rapat bersama-sama dengan penasehat-penasehat keamanan Jokowi, jendral-jendral di situ, bagaimana dia mau bantah kalau dia tidak punya kemampuan intelektual, tidak punya sebut saja arogansi etis untuk menghentikan pembicaraan semacam itu. Saya tidak dengar misalnya, sebut saja Teten Masduki, Sukardi Rinakit dan segala macam yang di situ yang mengkritik atau mengkoreksi keterangan Moeldoko tentang perang total, tentang Khilafah versus Pancasila. Tidak ada tuh yang kasih koreksi, mesti dia koreksi, 'kan DNA mereka human rights. Seharusnya di situ mereka fokus mengaktifkan ulang prinsip demokrasi, yang terjadi mereka cari suaka di situ, cari suaka di BUMN sebagai komisaris, itu ajaib. Bagaimana orang bisa kehilangan basic grammar soal Hak Asasi Manusia hanya karena fanatisme, crazy.
Anda masih berhubungan dengan teman-teman lama itu?
Pasti dia tidak mau kontak saya lah. Kalau kontak saya mesti isi log book dulu, berapa menit kontak Rocky Gerung. Sudah lama saya ga ketemu.
Anda merasa dikucilkan?
Tidak saya tidak merasa dikucilkan, saya tidak peduli soalnya, kan secara moral dia merasa berhutang kepada saya. Karena saya tetap dalam bahasa itu, human rights, liberal minds.
Misalnya pemerintahan Prabowo menang dan intoleransi menguat, Anda tetap jadi orang pertama yang akan bersuara?
Saya sudah bilang waktu itu, 12 menit setelah Prabowo dilantik gua kasih kritik pertama.
Dari mana kita punya bakat untuk saling membenci satu sama lain?
Dari dulu kita punya bakat itu sebetulnya, karena itu setiap ada konflik ideologi itu jadi to be or not to be. Justru karena kita punya, sebut saja defect dalam etos sosial semacam itu maka kita ingin agar pemerintah sekarang yang empat tahun ini membuka ruang politik itu. Supaya dia tidak menggumpal, sekarang di ujung menggumpal lagi. Coba kita lihat sejarah politik kita, 65 itu habis karena benar-benar kristalisasi. Sebelumnya misalnya, mana dadamu mana dadaku perang kemerdekaan banyak yang juga berlangsung secara fasistis, karena orang nggak mau masuk di dalam aura pikiran terbuka. Nah Kalau presiden mengerti sejarah kita, dia mesi tahu bahwa di ujungnya akan ada kristalisasi pilpres. Karena itu jangan pakai threshold. Kalau ada dua tambahan capres, ada empat capres, kalau yang satu menang yang tiga merasa oke kita masih ada teman bertiga, kalau sekarang yang satu menang yang satu dendam.
Pasti akan terus dualisme?
Pasti seterusnya akan begitu, iya, akan ada blocking saja hanya dua capres.
Apakah menurut Anda alam demokrasi kita kehilangan kelompok kiri?
Ideologi kiri itu melekat dalam sejarah kita, namanya keadilan sosial. Dalam momen tertentu keadilan sosial itu mengalami polarisasi partai komunis karena ada situasi internasional pada waktu perang dingin. Sekarang tidak ada situasi itu, jadi apa alasannya takut pada komunis misalnya. Tentu alasannya dibuat sedemikian rupa, karena misalnya begini, orang mau tahu jejak politik jokowi seperti apa maka muncul jokowi undercover, ditulis seseorang yang mestinya buku itu kalau dilarang, mesti diterangkan apa yang dilarang. Kan keterangan Tito waktu itu pak kapolri buku itu dilarang karena tidak akademis, yang menentukan akademis itu kampus bukan kapolri, harusnya buku itu dibahas di kampus baru ditentukan statusnya tidak akademis oleh kerana itu isinya adalah fitnah. Tapi justru polisi yang menentukan, ini tidak boleh diedarkan karena tidak akademis, ngga ada hak polisi untuk menentukan status akademis. Ini kan buat orang bertanya-tanyaapakah benar ada jejak PKI pada presiden, justru karena ditutup orang bikin imajinasi, di situ tololnya kan. Sampai sekarang kita tidak tahu buku itu ada dimana dan penulisnya ada dimana. Jadi tidak rela membicarakan sesuatu pada plethora yang sebenarnya yaitu forum akademis. Begitu banyak isu yang dihilangkan dan tidak boleh dibicarakan.
Anda yakin masyarakat kita mampu untuk melakukan diskursus secara rasional, mengingat banyaknya yang percaya hoaks?
Cukup lah, pasti cukup. Hoaks itu baru ada gejalanya sekarang, jaman Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada tuh hoaks. Kita mesti bikin standar terakhir demokrasi itu adalah SBY, dihajar dan ditimpa terus menerus dia diam saja, dia tidak penjarakan orang, satu pun tidak ada yang dipenjara. Dia penjarakan Habib Rizieq iya, karena kriminal kan bukan karena perbedaan politik. Karena soal kekerasan di Monas misalnya, bukan karena pandangan politik. Kalau sekarang karena pandangan politik, 'kan gila. Ahmad Dhani dipenjara cuma hanya karena dia bilang idiot, dia bereaksi terhadap ketergangguan, sama seperti saya menangkis aja. Kena berapa tuh? Dua tahun. Hanya ngomong idiot, yang tidak ada subjeknya dan tidak terarah pada siapa.
Anda punya pesan buat teman-teman lama yang sekarang bergabung dengan 01, jika mereka memenangkan Pemilu?
Tidak ada gunanya lagi, karena kalau dia menang dia makin arogan. Orang yang semakin arogan, dia semakin dungu karena takut berselisih paham. Jadi kalau dia menang, itu LSM makin arogan, budayawan-budayawan yang tadinya liberalis itu makin konservatif karena dia mesti pastikan lagi ini berlangsung dua periode, lalu periode ketiga mesti dari geng itu juga, logikanya sama. Sebab sekali orang masuk ke kentalan politik tidak mungkin jadi cair lagi.
Anda dulu melawan Prabowo di 1998…
Iya, sampai sekarang juga saya masih persoalkan soal hak asasinya. Gini saya gambarkan ya, kalau Prabowo menang potensi untuk bikin oposisi masih terbuka, kalau sekarang tidak ada lagi potensi untuk bikin oposisi karena masyarakat sudah dibelah dalam slogan ideologi. Jadi saya masih menganggap kalau saya beroposisi 12 menit setelah Prabowo dimungkinkan oposisi itu dimengerti oleh publik. Kalau Sekarang tidak ada kesempatan, jadi saya mau pilih mana, ya saya memilih menghentikan rezim yang tidak memberi izin oposisi.
Sejak kapan Anda mulai beroposisi pada Jokowi?
Dari awal. Dari saat mencalonkan, saya rasa tidak cukup kapasitas beliau karena kapasitasnya itu disubsidi oleh macam-macam kepentingan. Ada blok bisnis, ada blok Orde Baru di situ, ada blok LSM yang tidak selesai dengan pengetahuan dia tentang demokrasi. Banyak dibisikkan segala hal, dicitrakan berkali-kali, artinya orangnya tidak otentik. Ya Tahun pertama sudah kita lihat, masa dia terima semua pencitraan, 'kan cukup satu pencitraan aja. Kalau semua hal diterima dia cuma mau berkhayal tentang dirinya bukan bangsa. Dari awal ya intuisi saya mengatakan, kasihan ini orang akan diajukan untuk kepentingan gerbong yang lebih panjang.
Apa perbedaan Rocky Gerung versi aktivis 1998 dan 2019?
Tidak ada sama saja. Pada 1998 saya ucapkan hal yang sama pada Gus Dur. Gus Dur bahkan satu geng dengan saya, bikin forum demokrasi saya ucapkan hal yang sama. Waktu Gus Dur jadi presiden baru dua minggu udah ketemu Tommy Soeharto saya kasih kritik yang sama, zaman SBY juga hal yang sama. Grammar saya tentang demokrasi sudah selesai. Tidak akan berubah-ubah. Gagal, betul-betul gagal. Kan problemnya, Jokowi memperluas demokrasi? Tidak. Jokowi itu masuk ke dalam sistem yang sudah demokratis, yang kita tagih dia mempersempit apa tidak, bukan memperluas lagi wong demokrasinya sudah ada kok. Ternyata dia mempersempit. Mencegah orang berpikir alternatif, membubarkan ormas, mengendalikan pers, Memobilisasi ASN, membelah masyarakat dengan isu yang sangat fundamental yaitu agama. Dia betul-betul mempersempit ruang demokrasi itu.
Anda sangat liberal ketika mengatakan tidak ingin pemerintah terlalu mengintervensi diskursus publik...
Begini ya kalau, liberalisme itu kepentingan individu, saya bukan kepentingan individu tapi saya kebebasan individu yang saya ajukan. Individualisme bisa diterjemahkan kepentingan individu atau kebebasan individu. Saya ambil bagian kebebasan individunya bukan kepentingan individunya. Soal kebebasannya bukan kepentingannya itu juga bisa jadi libertarianisme.
Seberapa jauh ideologi Anda ini berseberangan dengan pendukung Prabowo Subianto?
Apa ideologi 02, karena semua ideologi ada di situ. Dari awal itu koalisi 'kan, yang paling mungkin terbuka ya demokrat, karena dari awal ada kultur itu, ada PAN gerindra. PKS jelas basisnya Islam. Tapi mengerti tentang perlunya memperluas pembicaraan publik. Tentunya dia senang saja karena kami mayoritas. Tapi dia mau bergabung untuk menghindari negeri ini masuk dalam jebakan ideologi. Saya ngomong dengan petinggi PKS berkali-kali dan saya dapat kesan itu. Dalam sejarah kita Islam itu cuma 14 persen, 15 persen maksimal. Tetapi fakta sosialnya bukan dihitung pada perolehan suara, dalam keadaan tertentu dia bisa berubah dari nomor menjadi kualitas. Kalau sekarang dia dibelah seolah-olah sedang terjadi, istana sedang dikepung oleh muslim. Itu ide gila kalau menganggap begitu. Wong dari awal negeri ini didasari dari Piagam Jakarta. Kita biasakan hidup dengan memori itu, 'kan ga bisa dihapus. Setiap kali kita hapus memori kita kita buat teks baru, dalam teori dekonstruktif 'kan seperti tiu, menghapus teks lama artinya membuat goresan baru. Itu goresannya semakin kuat nanti.
Apakah kelompok Islam bisa dipercaya merawat Pancasila?
Sodorkan demokrasi. Supaya mereka bisa diuji dalam kompetisi demokrasi. 'Kan tidak boleh ditahan orang punya pikiran. Salah kita terobsesi oleh fantasi bahwa akan ada reinventing the past yaitu Piagam Jakarta. Ngapain itu diajukan sebagai ketakutan. Ajukan itu sebagai diskursus yang ada dalam sejarah kita, itu yang saya sebut tadi mau coba dihapus tapi tidak bisa.
Seandainya Piagam Jakarta kembali ke Pancasila, apa yang akan terjadi dan apa yang akan Anda lakukan?
Sekarang kita lihat potensinya apa ke arah itu. Kalau kita membayangkan sesuatu, past event-nya apa. Karena problem di timur tengah? Atau karena krisis seputar kemunculan kembali politik kanan di Eropa? Kalau di sini apa dasarnya? Itu mesti kita hitung. Ada Jawa dan Sumatera, Islam di Jawa beda dan di Sumatera lain lagi tuh. Ada Indonesia Timur yang tahu tentang sejarah politik kita, dasarnya kenapa kita memilih kedaulatan rakyat bukan kedaulatan agama. Semua itu adalah variabel yang harus dibuka di atas meja. Justru karena tidak dibuka orang jadi saling mencurigai. Waktu Indonesia merdeka proposalnya macam-macam. Ada yang ingin negara Islam, ada yang ingin kembali ke kerajaan. Ada yang ingin kesultanan dan ada yang ingin republik. Tapi kita memutuskan negara berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan tuhan atau agama. Tapi agama berdaulat pada pemeluknya, ya sudah jadi terima saja.
Bagaimana sejarah selayaknya memvonis Anda?
Kalau itu pertanyaannya berarti saya yang memvonis sejarah. Ini bukan soal harapan tapi soal prinsip, bahwa ini negara dirancang untuk menjadi negara terbuka, demokratis dan majemuk, jadi jangan halangi potensi ke arah situ, hanya karena ketakutan dengan masa lalu.
Anda ini sebenarnya pembawa kabar baik atau kabar buruk dalam demokrasi di Indonesia?
Itu soal memilih antara optimistis atau pesimistis. Tidak, saya determinis lah. Kabar itu, apa pun dia, buruk atau baik, harus dibicarakan sebagai kabar. Jadi saya lebih ingin ada ruang membicarakan kualitas kabarnya, bukan baik atau buruk. Saya bawa kabar baik, tapi dengan kualitas forum publik yang buruk ya kabarnya juga ditafsirkan buruk. Itu poinnya. Lebih penting menyediakan fasilitas untuk mendiskusikan apakah ini kabar baik atau kabar buruk. Saya ingin itu terjadi sejak 2019 ke depan. Sehingga 2024 jalan bersih mulai terbuka untuk generasi baru. Pengalaman ini mesti dicatat sehingga yang baru nantí tahu bahwa electoral threshold membuat fanatisme, pemimpin yang tidak punya kapasitas pasti akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kepentingan di baliknya, pesan itu yang mesti dicatat.
Apakah Anda merasa frustasi pesan Anda sering disalahartikan?
Saya tidak frustasi, karena saya tahu status orang yang terima pesan itu cuma segitu kok. Saya frustasi kalau misalnya orang semacam Goenawan Mohamad, karena Anda sebutkan dia tadi, tidak bisa mengerti the ideals of democracy. Dia memusuhi orang di luar kekuasaan 'kan ajaib, kecuali dia bagian dari itu sejak awal, seperti menteri pertahanan misalnya. Tapi dia kan intelektual publik. Jadi sudah baguslah saya sudah mengambil jalan yang lain. Saya sangat nyinyir melihat akal yang tidak bisa memahami kompleksitas negeri ini.
Rizki Akbar Putra dan Ayu Purwaningsih turut berkontribusi dalam pembuatan wawancara