Rohingya: Konflik Ekonomi bukan Agama
31 Agustus 2015Siegfried Wolf adalah kepala bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum (SADF) di Brussel, dan peneliti pada Universitas Heidelberg, Insitut South Asia.
DW: Apakah ada solusi domestik bagi konflik Rohingya di Myanmar? Apa saja halangan untuk mencapainya?
Siegfried O. Wolf: Warga Rohingnya adalah komunitas yang mayoritasnya Muslim, dan tinggal di negara bagian Rakhine. Jumlah mereka sekitar sejuta, tapi mereka bukan kelompok masyarakat terbesar di Rakhine. Sebagian besar warga Rakhine beragama Buddha. Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah peyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok.
Selain itu, kelompok Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingnya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka. Ini menyebabkan tambah runcingya ketegangan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut. Faktor-faktor ini adalah penyebab utama di balik konflik antar kelompok etnis dan antar agama. Ini juga jadi penyebab memburuknya kondisi hidup warga Rohingya, serta pelanggaran hak-hak sosial-politis mereka.
Pendeknya, solusi domestik bagi masalah Rohingnya hanya bisa tercapai jika kelompok elit Myanmar yang memerintah, serta para pengambil keputusan, mengubah pola pikir mereka. Tapi perebutan sumber daya alam, keuntungan dari proyek-proyek pembangunan dan bangkitnya kelompok fundamentalis Buddha kemungkinan akan mencegah itu terjadi.
Mengapa warga Buddha Myanmar menentang Rohingya? Apa ini hanya masalah agama, atau ada masalah lainnya?
Hubungan antar agama di Myanmar adalah masalah yang sangat kompleks. Warga Muslim, terutama Rohingya, dikonfrontasikan dengan rasa takut mendalam terhadap Islam di masyarakat dan negara yang mayoritas warganya beragama Buddha. Warga yang fundamental mengklaim bahwa kebudayaan Buddha serta masyarakat terdesak oleh warga Muslim. Apalagi Myanmar dikelilingi negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Warga Rohingnya dianggap sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha, dan jadi jalan menuju islamisasi Myanmar.
Tapi masalah ini juga punya aspek ekonomi. Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin, walaupun kaya sumber daya alam. Jadi warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, jika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elit Burma. Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohinya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis.
Apakah proses demokratisasi di Myanmar membantu Rohingya?
Proses ini sampai sekarang belum menghasilkan perbaikan kondisi masyarakat. Politik Myanmar membuktikan bahwa proses demokrasi bisa membuahkan rezim yang mewakili warga mayoritas, dan tidak memperhatikan warga minoritas sama sekali. Myanmar punya sistem politik yang berdasar pada kekuasaan mayoritas tanpa proteksi secara institusional bagi hak-hak warga minoritas.
Namun demikian, ada harapan besar bahwa ikon demokrasi Aung San Suu Kyi akan mengubah situasi dan berupaya agar kebudayaan politik yang merangkum semua warga bisa tercipta. Tapi pemenang Nobel perdamaian itu sudah mengejutkan banyak pengamat politik karena tidak memberikan komentar apapun menyangkut kesengsaraan warga Rohingnya. Saya pikir reformasi substansial dalam sistem pemilu di negara itu bisa menolong warga minoritas, tetapi kelompok mayoritas akan mencegah perubahan ini.