Rumah Aman untuk Penyintas HIV/AIDS dari Transpuan di Yogya
Yayasan Kebaya di Yogyakarta membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja termasuk penyintas, relawan yang ingin merawat penyintas HIV/AIDS, maupun mahasiswa yang ingin meneliti HIV/AIDS.
Stigma bagi ODHA masih tinggi
Yayasan Kebaya didirikan 2006 dan punya 5 kamar, tiap kamar diisi satu atau dua penyintas. Saat ini yayasan merawat 6 pengidap HIV/AIDS, empat di antaranya adalah waria. Selama tinggal di sini, mereka tidak membayar uang sepeser pun. Kebanyakan mereka ditolak oleh keluarga dan masyarakat. Stigma masyarakat menyebabkan tingginya perlakuan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Diusir dari kampung halaman
Widi Hartono, 34, tinggal di Kebaya sejak September 2020 setelah diusir oleh warga kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah. Mereka berpikir, HIV/AIDS adalah penyakit kotor dan menakutkan. Keluarga Widi tidak berani membelanya, sedangkan kedua orang tuanya telah meninggal. Setelah diusir warga, ia sempat tinggal di tempat pembuangan sampah selama 5 bulan atas instruksi kepala desa pada saat itu.
Antiretroviral (ARV), obat wajib bagi ODHA
Obat antiretroviral (ARV) wajib diminum penyintas HIV/AIDS setiap hari. ARV memang tidak bisa menyembuhkan infeksi virus HIV, tetapi terapi obat ini bisa memperlambat perkembangan virus di dalam tubuh sehingga penyintas bisa menjalani hidup lebih lama. Saat ini, perjuangan mereka lebih berat karena pandemi menyebabkan persediaan ARV menjadi langka.
Dipantau relawan dokter
Yayasan Kebaya memiliki relawan dokter yang secara rutin memberikan konsultasi medis kepada penyintas HIV/AIDS. Mereka dikirim oleh Dinas Sosial, tetapi di luar jam kerjanya, sering mengunjungi yayasan untuk merawat penyintas secara sukarela. Relawan dokter ini memastikan penyintas disiplin meminum obat antiretroviral (ARV) dan menjalani pola makan dan pola hidup sehat.
Berbaur bersama warga sekitar
Penyintas dan warga sedang asyik mengobrol di Yayasan Kebaya. Masyarakat di sekitar yayasan menerima baik keberadaan penyintas HIV/AIDS yang dirawat di sini. Mereka berbaur dan saling menolong. Di masa pandemi ini, yayasan mendapatkan bantuan sembako dari warga, dan sebaliknya yayasan juga memberikan bantuan sembako kepada mereka ketika memperoleh bantuan dana dari lembaga donor.
Pejuang ODHA terlantar
Akrab disapa Mami Vin, Vinolia Wakijo, pendiri dan direktur Yayasan Kebaya, merupakan mantan pekerja seks yang kini berjuang menghapus stigma terhadap penyintas HIV/AIDS (ODHA). Setelah melihat kawan-kawan sesama pekerja seks meninggal akibat virus HIV, ia mendirikan Yayasan Kebaya pada 2006 untuk menolong dan merawat ODHA yang ditelantarkan oleh keluarganya dan masyarakat.
Ruang kerja Vinolia Wakijo
Di ruang ini, Vinolia Wakijo, Direktur Yayasan Kebaya, menyusun proposal permohonan bantuan dan mengirimnya ke berbagai lembaga di dalam dan luar negeri untuk merawat penyintas HIV/AIDS yang terlantar. Baru-baru ini, ia mendapat bantuan dana senilai Rp340 juta dari ViiV Healthcare yang digunakan untuk berbagai hal, termasuk menebus obat-obat infeksi oportunistik yang diderita ODHA. (ae)