Rupiah Menguat, Jokowi Siapkan Jurus Baru
6 Oktober 2015
Ada masanya ketika Presiden Joko Widodo mengecewakan pasar. Ia dikatakan tunduk dan membungkuk pada tekanan politik di Senayan. Kebijakan ekonominya kaku dan proteksionis. Maka investor menyimpan ragu. Setidaknya sampai saat ini.
Setelah bulan-bulan penuh ketidakpastian, Jokowi mulai merasa muak menurut kabar yang tersiar dari lingkaran dalam istana. Berawal dari perombakan kabinet Agustus silam, ia mengumumkan dua paket deregulasi kebijakan buat merangsang investasi dan ekspor/impor. Pekan ini ia berniat meluncurkan paket ekonomi ketiga.
Salah satu strategi Istana Negara adalah menurunkan harga bahan bakar minyak buat memutar kembali roda ekonomi. "Penurunan BBM ini terutama yang menyangkut industri, bukan rumah tangga," kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution kepada harian Merdeka.
Dibayangi pergerakan Rupiah yang menyerupai level krisis moneter 1998, Jokowi yang dikenal sabar dan santun, dilaporkan bersuara lantang kepada para menterinya di tengah rapat kabinet pekan lalu yang membahas hambatan birokrasi.
"Masyarakat belum menyadari betapa siapnya presiden mendobrak kebiasaan dan tradisi," kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong. "Kita merasa cepat puas dengan boom di sektor komoditi. Kita membutuhkan sentakan," imbuhnya.
Indonesia rata-rata mencatat pertumbuhan sebesar enam persen per tahun. Tapi ketika konsumsi dan ekspor menyusut, Jakarta mereduksi ekspektasi pertumbuhan menjadi cuma 4,9 persen tahun ini.
Jokowi bertaruh pada investasi asing buat memotori pertumbuhan ekonomi. Maka tantangan terbesarnya adalah birokrasi yang lamban dan korup, serta lemahnya infrastruktur. Lembong adalah salah satu dalang di balik kebijakan deregulasi pemerintah.
Ia misalnya mempermudah izin perdagangan dan mencabut peraturan yang mewajibkan semua importir buat menempelkan label berbahasa Indonesia pada setiap produknya. "Sejarah 100 tahun terakhir membuktikan bahwa proteksionisme ujung-ujungnya selalu menjadi bumerang."
rzn/yf