Sajikan Makanan sambil Poulerkan Budaya Indonesia
30 Agustus 2015Koki kenamaan Degan Septoadji menimba ilmu di Jerman. Kehadirannya tahun ini di Jerman adalah yang kedua. Tahun lalu ia juga sudah mengadakan kursus memasak dan menyelenggarakan gala diner di hotel Traube Tonbach, Jerman. Tahun depan juga sudah direncanakan kunjungan berikutnya.
Sebelum memiliki restoran sendiri di Indonesia, tepatnya di Bali dan Jakarta, chef Degan juga sudah bekerja di Thailand. Dari pengalamannya di Thailand itu, antara lain berbuah "koneksi" ke hotel Traube Tonbach, di mana teman dari masa pendidikan, koki Henry Oskar Fried, bekerja. Kini mereka bekerjasama dalam penyelenggaraan gala diner kuliner Indonesia.
Dalam kursus yang diadakan beberapa kali, hadir para tamu hotel atau tamu yang khusus datang untuk belajar memasak. Di antara mereka, banyak yang sudah ikut kursus tahun lalu.
Bisa Anda ceritakan, apa yang Anda ajarkan dalam kursus memasak makanan Indonesia?
Kami membuat “cooking class“ makanan tradisional. Jadi kami juga menunjukkan bahwa orang Indonesia membuat bumbu dengan menggunakan ulekan. Kami sudah bawa ulekan ketika datang tahun lalu ke sini, ketika itu juga untuk mengajarkan cara masak Indonesia. Ulekan kemudian kami tinggal di hotel ini. Kalau di Eropa orang menggunakan “Thermomix“ (alat penghancur dan pencampur bumbu – red). Kalau di Indonesia ulekanlah yang jadi Thermomixnya. Jadi kami sediakan bahan-bahan untuk bumbu dan ulekannya. Lalu kami peragakan cara mengulek kemudian mereka harus mencobanya.
Apa pengikut kursus yang kebanyakan orang Jerman bisa mengulek?
Ada yang kesulitan, ada yang langsung bisa. Tapi semua mengatakan, “Waduh berat, ya, ini…“ Kami kemudian menjelaskan, kalau Anda menggunakan “blender“ juga bisa. Tapi kalau di Indonesia, inilah yang digunakan, karena kalau memakai ulekan, bumbunya menjadi lebih enak, semua rasanya keluar. Mereka terus mengatakan, “Wah, memang dengan ulekan jadinya lebih balus“.
Kemudian kami jelaskan, memang di Indonesia, misalnya di pasar, ada penjual bumbu yang punya penggiling bumbu. Tetapi kalau di rumah tangga biasa, orang biasanya menggunakan ulekan, walaupun ukurannya mungkin lebih kecil. Selain itu di daerah pedesaan, walaupun kalau ada acara orang harus memasak untuk 100 tamu, tetap saja ulekan yang digunakan. Kadang-kadang ulekannya besar, dan orang mengulek beramai-ramai, empat sampai lima orang. Jadi kami juga memberikan informasi tentang budaya di Indonesia sebagai latar belakangnya.
Bagaimana bahan-bahannya?
Tahun ini kami bawa bahan yang sedikit berbeda dengan tahun lalu. Kami bawa kluak, misalnya. Di sini (Jerman – red) itu tidak ada, bisa dapat, tapi lewat Belanda. Tapi kalau dapatpun hanya isinya saja. Bisa saja teman saya yang membelikan di sini, tapi dia tidak kenal bumbu ini. Jadi saya tunjukkan bentuk aslinya kluak. “Penah lihat ini tidak?“ Terus dia bilang, “Ini… apa ini?“ Terus saya tunjukkan, “Ini kulitnya, kalau dibuka ada isinya“. Kalau isinya kering harus direndam. Setelah itu disaring. Kami kasi liat semua prosesnya. Jika sudah disaring ditumis pakai minyak, kemudian dikasi air, dimasak setelah itu di-blender, hasilnya pasta. Setelah itu pasta dimasak dengan bumbu-bumbu lain. Ini nanti bisa untuk “beef stew“ atau rawon. Saya juga tunjukkan, supaya mereka bisa mencium wanginya. Kemudian mereka bilang, “Ini seperti coklat yang difermentasikan.“
Jadi mereka juga lihat bahan-bahan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Misalnya juga nangka. Mereka tanya , “Ini bagaimana cara makannya?“ Kami jelaskan, kalau nangka muda untuk sayur. Kalau tua untuk buah. Kemudian kami buat nangka goreng, lalu kerjasama dengan “pastry“ yang membuat es krim. Nangka kemudian dihidangkan dengan es krim. Atau juga mangga. Jadi yang kami sajikan agak modern, tapi rasa aslinya semua ada.
Bahan bumbu yang tidak pernah didapat di Jerman hanya daun salam dan kencur. Yang tidak bisa diperoleh di sini, kami bawa dari Indonesia. Daun salam dibawa oleh asisten saya, Heru, karena dia punya pohonnya di rumah.
Mengapa sajian masakan Indonesia lebih laku daripada yang dari Thailand?
Menurut para tamu gala dinner yang sudah mencicipi makanan Indonesia, makanan Indonesia memang ada yang terasa pedas. Tetapi tidak sepedas makanan Thailand. Walaupun pedas, dalam makanan Indonesia rasa-rasa lainnya masih bisa terasa. Jadi keseimbangan antara rasa pedas dan rasa lainnya ada. Sehingga masih bisa disantap dengan minuman anggur.
Laporan dan wawancara dengan Chef Degan Septoadji bisa diadakan berkat dukungan pihak Hotel Traube Tonbach, Schwarzwald.