Seberapa Besar Kemungkinan Putin Menggunakan Senjata Nuklir?
13 Oktober 2022Sejak akhir September, pasukan Ukraina telah berhasil melakukan serangan balasan di wilayah Kharkiv, Donetsk, Luhansk, dan Kherson. Kemunduran mengejutkan Rusia di medan perang telah meningkatkan ketegangan di Kremlin. Setelah serangan rudal Rusia di kota-kota di Ukraina, ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Rusia mungkin menggunakan senjata nuklir untuk menyerang balik.
Mengutip sumber NATO, harian Inggris The Times baru-baru ini melaporkan bahwa Rusia sedang mempersiapkan uji coba nuklir di Laut Hitam. Selanjutnya, sebuah video online telah muncul yang menunjukkan kereta militer Rusia bergerak menuju perbatasan Ukraina. Diduga hal ini terkait dengan urusan Direktorat Utama ke-12 Kementerian Pertahanan Rusia, yang bertanggung jawab atas persenjataan nuklir negara itu.
Langkah kecil menuju eskalasi
Gerhard Mangott, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Innsbruck, mengatakan ancaman bahaya bahwa Rusia akan menggunakan senjata nuklirnya, sangat serius. Dia menduga kereta militer dan kapal selam Belgorod (K329) yang dimobilisasi bisa menjadi pesan yang berkaitan dengan senjata nuklir.
"Kepemimpinan Rusia ingin menunjukkan kepada Ukraina dan pemerintah Barat, bahwa Rusia cukup mampu, tetapi juga mungkin berkeinginan menggunakan senjata nuklirnya," katanya. "Saat ini, pesan tersebut berfungsi terutama untuk membuat gentar. Untuk memberi sinyal bahwa Ukraina tidak boleh melanjutkan serangannya dan bahwa Barat tidak boleh terus mendukungnya dengan senjata."
Namun, dia memperingatkan bahwa jika ancaman ini gagal menghentikan serangan balasan Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin dapat melangkah ke tahap berikutnya."Sebagai pesan radikal 'hentikan serangan', Rusia mungkin bakal menguji senjata nuklir taktis di atas Laut Hitam atau di Kamchatka," katanya.
Mangott menambahkan bahwa jika ledakan di wilayah tak berpenghuni tidak terlalu berpengaruh dan Ukraina terus merebut kembali wilayah, Rusia mungkin dapat menggunakan senjata nuklir secara taktis. "Hal itu tidak akan dilakukan di garis depan, tetapi di suatu tempat di belakang di luar wilayah perkotaan Ukraina yang berpenghuni."
Jika bom nuklir Rusia di atas wilayah tak berpenghuni gagal memberikan efek jera, pakar militer dan mantan Kolonel Bundeswehr Ralph Thiele meyakini bahwa Moskow mungkin akan mencoba menyerang sasaran politik dan ekonomi di Ukraina. "Ini mungkin bisa menjadi ledakan yang mengirimkan pulsa elektromagnetik dan menghancurkan segala sesuatu dalam area ratusan kilometer persegi yang bertenaga listrik - mobil, televisi, satelit, komputer, pembangkit listrik," katanya. "Itu mungkin menjadi pilihan."
AS memperingatkan konsekuensi bencana
Sebagian besar pakar internasional setuju bahwa uji coba senjata nuklir akan memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi Rusia. "Bahkan sebuah uji coba, yang sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap Traktat Larangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir, yang diratifikasi oleh Rusia, akan mengakibatkan sanksi ekonomi dan keuangan yang berat,” jelas Mangott.
Penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan telah memperingatkan "konsekuensi bencana." Dalam sebuah wawancara dengan CBS pada akhir September, dia mengatakan bahwa pejabat senior AS telah menjelaskan hal ini kepada Kremlin "secara langsung, secara pribadi, dan pada tingkat yang sangat tinggi."
Menurut Mangott, respons AS dan NATO kemungkinan besar adalah tindakan militer. Dia merujuk mantan Direktur CIA David Petraeus, yang mengatakan kepada ABC News bahwa AS dapat merespons "dengan memimpin NATO - upaya kolektif - yang akan mengalahkan setiap kekuatan konvensional Rusia yang dapat kita lihat dan identifikasi di medan perang di Ukraina dan juga di Ukraina. Krimea dan setiap kapal di Laut Hitam."
Mangott menduga bahwa serangan seperti itu akan menjadi "asimetris", dalam arti bahwa hal itu akan melibatkan senjata konvensional. "Hal ini sedang dikomunikasikan kepada Putin, tidak hanya bagaimana Barat akan bereaksi terhadap serangan nuklir, tetapi juga bahwa Rusia kemudian akan diisolasi secara global, dan Cina dan India juga akan mengutuk langkah seperti itu."
Barat harus mendekatkan diri ke Cina untuk mendapatkan dukungan. Sejauh ini,Cina telah mengambil posisi netral terkait perang Ukraina. Namun, banyak pakar setuju bahwa Beijing dapat membantu mencegah Rusia meluncurkan serangan nuklir. Thiele berpikir bahwa Barat harus berbuat lebih banyak untuk menjadikan Cina sekutu strategisnya. "Putin bergantung pada Cina," katanya. "Dengan melibatkan Cina lebih jauh, dunia akan memiliki peluang untuk mendapatkan gencatan senjata, sebagai langkah pertama."
Namun, dia mengatakan bahwa Barat seharusnya tidak memaksa Cina untuk bergabung menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, karena hal ini tidak akan bermanfaat bagi Beijing. Dia menjelaskan bahwa Cina tertarik untuk mengakhiri perang di Ukraina, khususnya karena alasan ekonomi, dan tidak menginginkan konflik nuklir. "Politisi kami sebenarnya ingin menjauhkan Cina dari Eropa karena mereka pikir akan cukup sulit di masa depan untuk berurusan dengan Cina, baik dari segi ekonomi global maupun geopolitik," kata Thiele.
Krimea bisa menjadi "garis merah"
Menurut Mangott perkembangan saat ini di Ukraina pada akhirnya akan memperlihatkan apakah peringatan AS memiliki efek jera. Ia menambahkan, Krimea mungkin akan menjadi "garis merah" (Batasan yang tidak boleh dilampaui agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif-ed) bagi presidenRusia.
"Saya tidak bisa membayangkan Putin bersiap jika Ukraina mendapatkan kembali Krimea. Hal itu akan menempatkan posisinya dalam bahaya langsung dan menyeret Putin pada kejatuhannya. Pertanyaan besarnya adalah apakah Putin, untuk mencegah kekalahan, bisa berdarah dingin dan memiliki cukup kekuatan untuk menggunakan senjata nuklir secara ekstrem dalam situasi seperti itu," ujarnya. "Tapi setidaknya ada sisa harapan bahwa perintah untuk menyebarkan senjata nuklir tidak akan diikuti oleh mereka yang harus menerapkannya."
Mangott bersikukuh bahwa saat ini tidak ada tanda-tanda bahwa kepemimpinan Rusia telah memutuskan untuk menggunakan senjata nuklir. "Belum sampai di sana. Juga tidak berada pada tahap, di mana Rusia dalam bahaya kalah perang ini,” katanya. "Namun, dengan setiap kekalahan yang dideritanya di medan perang, dengan setiap perebutan kembali wilayah yang ditaklukkan Rusia oleh tentara Ukraina, ada kemungkinan situasi yang meningkat ke arah itu."
Artikel orisinal ditulis dalam bahasa Rusia.