Sekolah Perempuan Poso
22 Desember 2018"Saya sangat tidak percaya konflik di Poso karena dilatarbelakangi agama.” Itulah yang diyakini Lian Gogali, pendiri Institut Mosintuwu di Poso, Sulawesi Tengah.
Saat konflik komunal merebak di Poso pada 1998-2001, ia memang tidak berada di sana. Ia tengah menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta. "Kami ini kawin-mawin, kalau mau telusuri dalam satu pohon keluarga, ada yang beragama Islam, Kristen, dan Hindu. Sehingga ikatan keluarga lintas iman itu sangat kuat di Poso,” kata perempuan 40 tahun ini yang ditemui di Poso beberapa waktu lalu.
Lian mulai kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta pada 1997, setahun sebelum konflik berdarah meletus. Menurut dia, banjir informasi tapi minim informasi akurat menyebabkan berbagai isu terkait konflik berkembang liar saat itu.
"Memang imajinasi apa yang terjadi di sana jadi lebih liar karena keterbatasan informasi dan banyaknya isu yang simpang siur,” ujarnya. Saat pulang ke Poso pada 1999 karena ayahnya meninggal, Lian melihat dengan mata kepala sendiri, rumah-rumah dan sekolah habis dibakar, termasuk rumah kakaknya. "Barulah saya mulai menyadari ada yang tidak betul di situ.”
Pada 2002, ia memutuskan melanjutkan pendidikan pasca-sarjana di kampus yang sama. Saat hendak menyusun tesis, dia diberi buku karya Urvashi Butalia yang menceritakan tentang pemisahan India dari perspektif perempuan. "Buku ini jadi titik awal saya bertanya lebih dalam lagi tentang kisah perempuan dan anak dalam konflik di Poso,” kata dia.
Lian muak melihat pemberitaan di media yang selalu menyajikan cerita siapa membunuh siapa,dan hitung-hitungan korban terbanyak ada di kelompok mana. Tanpa ada satu pun yang menceritakan ke mana para perempuan dalam konflik tersebut. "Saya jadi semakin penasaran dengan posisi perempuan, apalagi di dalam konstruksi masyarakat Poso yang sangat patriarki, sangat feodal, tidak mendukung posisi perempuan.”
Akhirnya, ia memutuskan tesisnya akan menjawab soal itu. Ia melakukan riset selama satu setengah tahun, keliling berbagai tempat penampungan pengungsian untuk mengumpulkan serpihan ingatan para perempuan korban konflik. "Saya ingin mencari tahu bagaimana politisasi ingatan konflik Poso berjalan dari perspektif perempuan,” kata dia.
Dari riset tersebut, ia menemukan banyak cerita yang menguatkan bahwa konflik ini bukan konflik agama. Yang tidak diceritakan, menurut Lian, adalah bagaimana para perempuan saling membantu satu sama lain, antaragama, antarkomunitas. "Ini tidak pernah muncul di media, selalu yang diperlihatkan adalah permusuhan antara Islam dan Kristen.”
Menurut Lian, ingatan saling menolong ini disenyapkan dan ditekan. "Ingatan mereka direpresi oleh wacana umum bahwa konflik ini antara Islam dengan Kristen. Wacana yang terus-menerus diulang akhirnya diterima, membesar, dan jadilah kebencian itu,” ujarnya.
Hal lain yang ia temui adalah bahwa perempuan yang kerap mengalami kekerasan berlapis dalam konflik ini, merupakan penyintas yang paling tangguh.
Setelah riset, Lian terdorong untuk melakukan sesuatu. Ia terus "dihantui” pertanyaan ibu-ibu tentang apa yang akan dia lakukan setelah riset. Apalagi, saat sidang tesis, ia kembali diguncang pertanyaan serupa oleh penguji. "Lian, kalau kau tahu bahwa media melakukan kesalahan besar dengan tidak mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi di Poso terhadap perempuan, lalu apa? Apa yang akan kau lakukan? Bagaimana kau sebagai orang Poso bertanggung jawab untuk sejarah kau sendiri?” Ia pun memutuskan kembali ke Poso setelah pendidikannya selesai.
Setiba di Poso, Lian belum memiliki gambaran apa yang akan dia perbuat. Hingga datang tawaran dari Asian Muslim Action Network untuk membangun komunitas belajar perempuan. Ia lalu mengorganisir beberapa perempuan dan membangun Sekolah Perempuan yang menjadi cikal bakal berdirinya Institut Mosintuwu.
Ia sempat terbentur masalah. "Program-program yang dilakukan banyak lembaga donor untuk membangun Poso mengubah kultur masyarakat yang semula guyub dan terbiasa saling tolong menolong, menjadi semuanya diukur dengan uang, seperti uang transportasi, per diem.”
Karena itu, saat mendirikan Institut Mosintuwu yang fokus bergiat pada isu anak dan perempuan, ia ingin memasukkan identitas budaya Mosintuwu, yakni kehidupan bersama yang saling menghargai dan saling menghidupi. "Semangat dari insititut ini adalah keinginan untuk merebut kembali identitas masyarakat Poso,” kata dia.
Untuk menggerakan kegiatan ini, Lian menyambangi warga di berbagai desa untuk menawarkan program Sekolah Perempuan. Awalnya, peminatnya sedikit, hanya tujuh perempuan dari target 100 orang. Mereka berlatar belakang petani, ibu rumah tangga, dan buruh cuci.
Bahkan kemudian semakin banyak perempuan bergabung. Institut Mosintuwu kini menjelma menjadi lembaga yang disegani. Dari Sekolah Perempuan lahir pemimpin-pemimpin perempuan di banyak desa. Salah satunya Margareta Tandi yang kini Kepala Dusun Kameasi di Desa Kilo, Poso Pesisir Utara. "Berkat sekolah perempuan, saya memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin,” kata dia.
Ada pula Martince yang menjadi tulang punggung setiap kegiatan di Desa Bukit Bambu. Sebelum ikut Sekolah Perempuan, Martince begitu benci umat Muslim. Pemantiknya, keponakannya yang masih sekolah yang dibunuh dengan sadis.
Namun kebencian itu luntur ketika dia mulai berinteraksi dengan perempuan Muslim yang juga penyintas konflik di Sekolah Perempuan. "Dari situ saya menyadari bukan agamanya yang salah, melainkan orang-orang yang salah memaknainya. Kebencian perlahan hilang.”
Martince saat ini justru jadi ujung tombak Institut Mosintuwu untuk menebarkan pesan-pesan perdamaian dan kedaulatan bagi perempuan.
Sukses dengan Sekolah Perempuan Mosintuwu, Lian tak mau berhenti. Ia menambah berbagai kegiatan. Di antaranya, Sekolah Pembaharu Desa. Impiannya, sekolah ini akan membentuk komunitas pembaharu desa yang tidak hanya melibatkan perempuan.
Lian dan teman-teman juga merintis Sekolah Keberagaman untuk merawat perdamaian lintas iman. Pesertanya, para tokoh agama yang memiliki basis massa desa. Juga Sekolah Generasi Damai yang ditujukan untuk anak-anak muda di seluruh Poso. "Anak muda ini juga perlu ruang untuk mengalami, merasakan, dan mampu mempraktekkan nilai-nilai ini,” ucap Lian.
Masih ada lagi, Project Sophia dan Perpustakaan Sophia. Project Sophia adalah proyek perpustakaan keliling yang memberi ruang bagi anak-anak untuk menumbuhkan daya kritisnya sehingga kelak menjadi generasi yang mampu menjaga perdamaian dan keadilan di Poso. Sementara Perpustakaan Sophia di Institut Mosintuwu, selain menyediakan buku-buku, juga memfasilitasi anak-anak untuk belajar bahasa Inggris.
Ada pula Festival Mosintuwu yang menjadi perayaan bersama antar desa di Poso yang menandakan perdamaian sudah tercipta.
"Harapan saya, perempuan menjadi pembaharu desa untuk menciptakan masyarakat yang damai dan adil yang berakar pada kebudayaan,” kata Lian Gogali.
***
Tulisan ini bagian dari Proyek Perempuan Tempo untuk merayakan 90 tahun Konggres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, dengan dukungan dari European Journalism Centre.