Blogger Mauritania Tetap Dipenjara
25 Juli 2019Walad Mohamed Amkhitir dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Mauritania pada bulan Desember 2014 atas tuduhan penghujatan agama. Amkhitir kemudian mengajukan banding. Pada tahun 2017, vonis hukuman mati diubah menjadi hukuman penjara selama dua tahun. Namun, meski telah menjalani hukuman sepenuhnya, Amkhitir masih mendekam di penjara.
"Kami menyadari bahwa dari perspektif hukum ia harus dilepaskan, tetapi untuk alasan keamanan kami tidak dapat mengambil risiko nyawa lebih dari empat juta warga Mauritania," kata Presiden Mauritania, Mohammed Ould Abdel Aziz.
"Jutaan orang Mauritania turun ke jalan untuk menuntut eksekusi, dan pembebasannya akan menimbulkan kekacauan yang bakal berakar di negara ini," ujarnya lebih lanjut.
Penjara di tempat yang tidak dikenal
"Amkhitir dulu ditahan sebagai korban penculikan di lokasi yang tidak diketahui," kata pengacaranya Mohamed Ould Amin dalam percakapan dengan DW. Sebelumnya, Amkhitir telah menyatakan penyesalannya di televisi Mauritania, bahwa ia telah membuat pernyataan kritis tentang Islam di internet.
Dalam surat bersama yang ditujukan kepada Presiden Mauritania pada Juni lalu, beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, mengkritik penahanan Amkhitir.
"Alih-alih membebaskannya, pemerintah memindahkan Amkhitir ke sel isolasi di lokasi yang tidak diketahui," demikian bunyi tulisan dalam surat itu. "Pengacaranya tidak diizinkan untuk mengunjunginya, dan menurut keluarganya, dia menderita sakit secara fisik, trauma mental, dan katarak yang dapat membutakan matanya, jika pihak berwenang terus mencegah perawatan medis yang memadai."
Posting kontroversial di Facebook
Dalam sebuah artikel yang di-posting di Facebook tahun 2013, Amkhitir menulis hubungan asal-usul Islam dengan diskriminasi agama. Para panglima dari suku Quraisy memerintahkan untuk membunuh anggota suku Quraizhah. Quraizhah memiliki bagian-bagian oasis yang paling subur di sekitar Madinah. Ditulis olehnya, Muhammad memberikan persetujuannya atas tindakan itu.
Pembantaian ini disebutkan dalam beberapa teks nonkanonik masa awal perkembangan Islam. Namun, latar belakang dan motif yang tepat dari tindakan tersebut masih jadi kontroversi dari segi ilmiah.
Salah satu penafsiran atas hal itu adalah bahwa pembantaian itu bukan berdasarkan motif agama, melainkan politik kekuasaan. Banyak warga Mauritania menuduh blogger ini tidak memeriksa sumber informasinya secara memadai. Argumennya juga dipertanyakan.
Hukuman mati atas nama syariah
Vonis terhadap Amkhitir ditetapkan atas desakan ulama muslim. Yurisprudensi di negara itu saat ini sebagian besar berdasar pada hukum Syariah.
Pasal 306 KUHP Mauritania menetapkan hukuman mati atas kasus murtad. Sampai baru-baru ini, sebuah pasal tambahan mengamanden hukuman mati jika terdakwa "menyesali" perilakunya. Namun, pemerintah telah menghapus pasal ini.
Para demonstran yang menuntut kematian Amkhitir sebenarnya tak begitu tertarik pada perdebatan agama-sejarah, ujar aktivis hak asasi manusia Amna Mint Mukhtar dalam wawancara dengan DW. Banyak yang bahkan tidak akan membaca artikel di Facebook tersebut. Menurut Amna, mereka hanya berpikir: "Jika seseorang telah dihukum berdasarkan Syariah, maka keputusan ini juga harus ditegakkan."
Pemerintah berusaha secara politis mengeksploitasi kasus Mohamed Amkhitir, tandas Amna Mint Mukhtar. Setidaknya pemerintah telah menghasut warga untuk berdemonstrasi, tambahnya. Beberapa partai politik juga memanfaatkan kasus ini.
Ketegangan sosial
Protes bercampur dengan ketegangan sosial. Amkhitir termasuk dalam apa yang disebut "Muallimin," sebuah kelompok populasi yang mempraktikkan perdagangan kerajinan tradisional. Selama beberapa dekade, kelompok Muallimin telah terpinggirkan oleh undang-undang yang bertujuan menggenjot industrialisasi.
Amkhitir juga termasuk dalam kelompok etnis Haratin, yang dianggap keturunan budak di Sahara bagian barat. Nama "haratin" berasal dari "hurr" atau "bebas," sebuah kiasan untuk budak yang sudah dibebaskan.
Namun secara semantik istilah ini juga terkait dengan Baidan, Badui, atau "kulit putih" Arab. Dengan demikian, namanya masih mencerminkan antagonisme etnis dan sosial yang berkembang di Mauritania.
Human Rights Watch melaporkan lebih banyak penangkapan dilakukan pemerintah setempat pada awal pekan ini. Pihak berwenang Mauritania menahan setidaknya tiga jurnalis selama seminggu terakhir.
Mereka yang ditangkap karena mengkritik pemilu presiden pada akhir Juni lalu yang mereka sebut sebagai pemilu yang tidak adil. Pihak berwenang juga memblokir internet dan menangkap puluhan aktivis oposisi. Alasan penangkapan tidak disebutkan oleh pihak berwenang.