Siapa Ebrahim Raisi, Mendiang Presiden Iran?
21 Mei 2024Selama empat dekade Ebrahim Raisi telah mengabdi di Iran dan bahkan sempat dianggap sebagai calon kuat untuk menggantikan Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemimpin spiritual.
Dia dilahirkan tahun 1960 di kota Mashhad dalam sebuah keluarga konservatif. Usai menjalankan pendidikan formal, Raisi pada usia 15 tahun bersekolah di sebuah pesantren Syiah atau hawza di kota Qom.
Dia baru berusia 18 tahun ketika Revolusi Islam menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979. Berbekal pendidikan agama, Raisi pada 1981 kelak diangkat oleh rejim yang baru sebagai jaksa di Karaj, sebuah wilayah Urban di pinggir ibu kota Teheran, di usia yang baru menginjak 21 tahun.
Tiga tahun kemudian, dia dipromosikan sebagai wakil jaksa penuntut umum di Teheran, di mana Raisi berperan menorehkan salah satu penggalan sejarah paling kelam dalam sejarah modern Iran.
Anggota 'komisi kematian'
Pada 1988, ketika Republik Islam tengah bergolak sebagai buntut perang dengan Irak, Ayatollah Khomeini memerintahkan penangkapan massal terhadap simpatisan oposisi, terutama pendukung Mujahedin Iran, PMOI, dan kelompok komunis.
Raisi saat itu ditunjuk menjadi anggota sebuah komite yang, antara lain, bertugas menjatuhkan hukuman mati kepada terpidana makar. Menurut Amnesty International, jumlah tahanan politik yang dieksekusi mati mencapai 5.000 orang, berdasarkan catatan pengadilan.
Sebabnya oleh simpatisan oposisi, komisi tersebut dijuluki "komisi kematian," dan dari sana pula, Raisi mendapat reputasi sangar sebagai "jagal dari Teheran."
Khomeini meninggal dunia setahun kemudian. Oleh penggantinya, Ayatollah Ali Khamenei, Raisi diangkat sebagai jaksa agung Teheran.
Pengawal rejim Republik Islam
Setelah masa jabatannya berakhir sebagai jaksa di Teheran, Raisi menjabat sebagai kepala Organisasi Inspeksi Umum di Iran selama satu dekade, yang disusul dengan masa jabatan 10 tahun sebagai jaksa agung di Pengadilan Khusus untuk Ulama di Iran.
Selama menjabat sebagai wakil pertama menteri kehakiman, Raisi berperan besar memadamkan protes massal menyusul hasil pemilihan presiden tahun 2009 yang dimenangkan Mahmoud Ahmadinejad.
Hingga kematiannya, dia adalah anggota Majelis Ahli, dewan ulama yang antara lain bertugas memilih penerus Khamenei. Kedekatan dengan pemimpin spiritual kelak membawanya ke posisi bergengsi sebagai kepala Yayasan Astan Quds Razavi, yayasan yang mengelola berbagai unit usaha dan properti negara, antara lain Makam Imam Ali al-Rida di Mashhad, dan mengendalikan sumber dana yang besar.
Protes berdarah di masa kepresidenan
Dalam pemilihan presiden tahun 2017, Raisi tampil sebagai kandidat konservatif dan giat menyerang Perjanjian Nuklir 2015 yang dinegosiasikan presiden petahana Hassan Rouhani. Tapi meski kalah pemilu, dia tetap dipercaya sebagai kepala peradilan di Republik Islam pada Februari 2019.
Pada tahun 2021, dia akhirnya memenangkan pemilihan presiden, yang didahului diskualifikasi terhadap kandidat-kandidat moderat dan oposisi dan dengan tingkat partisipasi di bawah 50 persen.
Selama masa jabatannya yang singkat, dia mengawasi tindak brutal aparat keamanan terhadap demonstrasi massal menuntut kesetaraan bagi perempuan yang menewaskan sedikitnya 500 orang, menurut komisi pencari fakta PBB pada Maret 2024. Ribuan orang ditahan dan tujuh di antaranya dieksekusi mati.
PBB mencatat, otoritas Iran melakukan kejahatan kemanusiaan karena merespons kebebasan berekspresi dengan tindak pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan.
Di masa pemerintahannya pula, Iran untuk pertama kalinya melancarkan serangan langsung terhadap Israel pada 13 April silam, sebagai reaksi atas pemboman terhadap markas Garda Revolusi di Damaskus, Suriah.
Setelah kematian Ebrahim Raisi, adalah putra Ali Khamenei, Mojtaba, 55, yang saat ini dianggap sebagai calon terkuat menjadi pemimpin spiritual Iran di masa depan.
rzn/as