Singapura 50 Tahun Kemudian
25 Desember 2015“50 tahun dari sekarang, kita akan menjadi pusat lalu lintas dunia. Pelabuhan kita akan sibuk melayani perdagangan dunia dan bandar udara kita akan sibuk melayani transportasi dunia,” ujar Lee Kuan Yew pada sebuah pidato di depan masyarakat Singapura sekitar tahun 1963.
Saat itu Singapura masihlah sebuah pulau kecil penuh kampung, bekas lokasi bangsa Melayu mencari ikan. Pulau ini baru saja bergabung dengan Malaysia yang saat itu juga baru memperoleh kemerdekaannya´dari Inggris. Saat itu Singapura memilih bergabung dengan Malaysia sebelum akhirnya 2 tahun kemudian memutuskan berdiri menjadi negeri mandiri.
Sementara itu di negeri tetangga yang berbentuk kepulauan dan memiliki luas sangat besar, beberapa hari kemudian Pemimpin Revolusi Ir Sukarno dengan lantang menegaskan betapa besarnya bangsa Indonesia, kayanya negeri ini dan rasa takut banyak negeri di barat sana pada kekuatan kita. Sembari pada satu bagian pidato, dengan sinis ia menyebut cita-cita Lee Kuan Yew sebagai lelucon, karena Indonesia lah yang dikemudian hari akan menguasai dunia.
Suatu hari di tahun 2005, saya tanpa sengaja menemukan majalah National Geographic yang membuat sebuah edisi khusus tentang Indonesia. Mereka memajang ulang pelaporan mendalam yang telah mereka rangkum dan gali sendiri pada tahun 1955. Sebuah kisah yang saya yakin mempesona bagi banyak orang di saat itu tentang potensi sebuah negara baru di timur jauh yang baru saja menasionalisasi semua perusahaan asingnya.
“Dengan atap dan landasan bertabur minyak yang belum digali, negeri ini akan menjadi raja di masa depan……….” Demikian potongan kalimat yang menggambarkan tentang kekayaan alam Sumatra dengan kelapa sawit sebagai minyak di atap dan minyak bumi yang luar biasa sebagai landasan berdiri. Lalu tentang kekayaan hutan dan alam Kalimantan yang membuat bangsa barat harus mengelap iler berulang kali bahkan sebelum kalkulasi laba selesai dihitung.
Sementara Sulawesi dan Jawa disebut memiliki hasil pertanian yang bagus, tulisan demi tulisan ini juga mengupas tuntas batas pantai kita yang luar biasa panjang. Teritori kelautan yang tak akan habis digali untuk menghidupi bangsa sampai posisi di khatulistiwa yang menguntungkan untuk pertanian banyak hasil alam. Juga sosok Sukarno yang digambarkan adalah seseorang yang mampu menjadi motivator bangsa baru yang dipimpinnya.
Lakukan banyak kesalahan
Setelah rangkaian tulisan kuno itu, pelaporan mendalam kemudian adalah tentang situasi Indonesia 50 tahun kemudian. Kalimat dibuka dengan “Sayangnya mereka melakukan terlalu banyak kesalahan…….” Lalu diuraikanlah tentang merananya Sumatra dan Kalimantan sampai koloni baru bernama Papua yang faktanya sangat kaya akan emas dan berbagai hasil alam lain. Disebutkan pula bahwa keserakahan, korupsi dan mental pecundang adalah sebab-sebab yang ditengarai telah menumpulkan semuanya.
Kekuasaan Sukarno yang penuh citarasa megalomaniak dan rasa percaya diri tinggi, putus begitu saja dan digantikan oleh Suharto yang penuh nyali. Ekonomi Indonesia yang nungging tidak karuan di era Sukarno—seakan nasionalisasi 1955 tak ada gunanya sama sekali—dibangun lewat sikap otoriter tanpa ampun namun secara kasat mata mampu membangkitkan ekonomi bangsa.
Apa benar demikian? Faktanya berkata lain! Korupsi berjamaah dari hulu ke hilir, kekuasaan yang berputar di tangan sgelintir individu termasuk penjualan aset-aset negara atau pinjaman asing yang diembat menjadi milik pribadi, justru membenamkan mental, moral dan ekonomi kita ke titik terendah. Di saat kejatuhannya, Suharto meninggalkan warisan fondasi ekonomi, mental dan moral yang rapuh tak kepalang. Indonesia nyaris mati dan terus begitu sampai hari ini.
Indonesia memang selalu mencoba bangkit, berbagai semboyan yang di era awal proklamasi seperti “Merdeka atau mati,” “Kita bangsa besar,” dan lain-lain sampai pekik-pekik ala era Orde Baru macam “Indonesia bangkit!” “Kita bisa!” dan lain-lain terus direpetisi hingga saat era presiden terbaru Joko Widodo yang sedang berkuasa.
Kasat mata kita memang semakin maju, asalkan Anda tak pernah beranjak pergi dari pulau Jawa, apalagi jika melulu hidup di Jakarta. Faktanya, kita praktis tidak kemana-mana. Bukan hanya karena masalah ekonomi, tapi juga disebabkan banyak variabel kemakmuran lainnya.
Malam itu di Singapura di tepian Marina Bay Sands sekitar 2 tahun lampau, saya duduk berdua dengan putri pertama saya Abigail Maryam Luz de Luna yang saat itu berusia 6 tahun. Saya kisahkan padanya tentang bagaimana bangunan-bangunan di teluk itu ditata sedemikian rupa agar enak dipandang, bagaimana Singapura yang kecil bisa terasa lebih nyaman.
Lalu saya kisahkan padanya tentang apa yang saya tuliskan di awal coretan ini. Di akhir cerita ia tertawa karena saya sampaikan “Andai Sukarno masih hidup, Lee Kuan Yew mungkin akan telpon. Saat diangkat Lee tak akan bicara apa-apa, hanya tertawa ngakak saja,”
Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Constant Traveller
@andibachtiar