Sistem Transportasi Minim Imajinasi
6 April 2016Sewaktu kecil saya selalu kagum melihat foto-foto trem yang melintas di kota-kota besar Indonesia pada masa lalu. Mereka terlihat artistik dan ramah. Setelah dewasa, foto-foto yang sama lebih memantik rasa nelangsa dan geregetan.
Kita sudah mempunyai modal sistem transportasi publik yang genah, jauh sebelum negara-negara tetangga. Tapi, modal ini dengan gampang dibuang dengan alasan yang terdengar sangat konyol saat ini.
Di Jakarta misalnya trem listrik dihentikan operasinya pada 1959 karena dianggap biang kemacetan dan rawan kecelakaan. Padahal, biang macet seringkali adalah oplet yang mogok atau ngetem. Nasib trem di kota-kota lain setali tiga uang, tersingkir.
Presiden Sukarno sendiri pada waktu itu menganggap trem tak cocok dengan Jakarta. Menurutnya yang cocok untuk ibu kota adalah metro atau kereta bawah tanah. Tapi, warga tak pernah melihat metro yang dijanjikan. Pengganti trem justru bus-bus PPD--yang bertahun-tahun kemudian malah mendatangkan problem tersendiri.
Pemerintahan Orde Baru juga tak terlalu berminat memajukan transportasi publik. Keberpihakannya kepada industri perakitan otomotif merek impor membuatnya lebih sibuk membangun jalan-jalan tanpa membarenginya dengan membangun sistem transportasi publik yang jangankan bagus, memadai pun tidak.
Transportasi antarkota sama tak menggembirakannya. Potret paling menyedihkan yang berulang setiap tahun adalah saat mudik Lebaran. Berpuluh tahun, pemerintah tak tergerak untuk membangun sistem rel ganda, misalnya. Bahkan, boom harga minyak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang mendatangkan uang melimpah pun tak ada pengaruhnya untuk peningkatan sistem transportasi publik.
Situasi keuangan negara bukanlah penyebab utama mengapa sampai sekarang kita tak kunjung mendapatkan transportasi publik yang nyaman dengan harga bersahabat. Miskinnya imajinasi pengelola pemerintahanlah yang membuat keruwetan berlanjut sampai sekarang. Rakyat jarang sekali dibayangkan sebagai sosok yang mesti dihormati, dilayani dengan baik, dan dibuat senang hatinya.
Jika situasi di Jawa yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi saja seperti itu, Anda bisa bayangkan pulau-pulau lain. Di Kalimantan, misalnya, sampai saat ini orang yang bepergian dari satu provinsi ke provinsi lain masih lebih memilih terbang ke Jakarta dulu baru karena sulit atau kurang nyamannya perjalanan darat. Untuk perjalanan antarpulau di kawasan-kawasan luar, jangan berharap terlalu banyak bisa menempuhnya secara tepat waktu karena ketersediaan kapal sangat minim.
Tak adil jika tak menyebut beberapa prakarsa yang sudah dijalankan pemerintah pusat maupun daerah. Pembangunan sistem kereta bawah tanah di Jakarta yang dimimpikan Sukarno dimulai tahun lalu oleh pemerintahan Jokowi. Bus Transjakarta dan yang sejenisnya sudah beroperasi beberapa tahun di beberapa kota. Kereta komuter di Jabotabek makin rapi dan sedikit banyak bisa diandalkan--tak ada lagi penumpang gelap yang sampai naik ke atap kereta. Di luar Jawa, perkeretaapian mulai dibangun di Kalimantan dan Sulawesi, jalan Trans Sumatra juga sedang digarap.
Upaya-upaya tersebut tentu patut diapresiasi. Saya berharap langkah-langkah ini tidak melulu digerakkan oleh penyerapan anggaran negara tetapi memang bermula dari imajinasi sebuah pemerintahan untuk memuliakan rakyatnya. Sudah terlalu lama kita mendapatkan pemerintah yang abai. Semoga tidak lagi.
Penulis:
Yusi Avianto Pareanom merupakan penulis beberapa buku fiksi dan nonfiksi. Buku fiksinya adalah kumpulan cerita Rumah Kopi Singa Tertawa (2011), A Grave Sin No. 14 and Other Stories (2015, terbit dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman), Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (2016). Ia juga menerjemahkan dan menyunting karya penulis-penulis asing ke dalam bahasa Indonesia.
*Setiap konten yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.