Siswa Muslim India Prihatin atas Penyetopan Hibah Pendidikan
13 Januari 2023Bagi Rayees Ahmed, peneliti berusia 26 tahun dari Kashmir yang belajar di Universitas Muslim Aligarh di negara bagian Uttar Pradesh, pilihan untuk mengejar pendidikan tinggi tidaklah mudah.
Setelah kehilangan ayahnya bertahun-tahun yang lalu, pendidikan Ahmed sebagian besar didukung oleh kakak-kakaknya.
Untuk lebih menghidupi dirinya sendiri selama mengejar gelar PhD-nya, Ahmed mengandalkan Maulana Azad National Fellowship (MANF) — yang merupakan skema dukungan bagi siswa minoritas di India yang mengejar gelar M.Phil atau PhD.
"Saya tidak berpikir saya akan dapat mengejar gelar PhD, seandainya saya tidak memenuhi syarat untuk beasiswa karena banyak biaya yang perlu ditanggung ketika seseorang mengejar pendidikan tinggi," katanya.
Namun, pemerintah India pada Desember 2022 mengumumkan penghentian MANF.
Pada 8 Desember 2022, sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diajukan di parlemen, Menteri Urusan Minoritas Smriti Irani mengatakan bahwa MANF "tumpang tindih dengan berbagai skema beasiswa lain untuk pendidikan tinggi yang diterapkan oleh pemerintah dan siswa minoritas sudah tercakup dalam skema tersebut."
MANF membantu siswa minoritas India
MANF disediakan oleh pemerintah India untuk enam agama minoritas yakni Islam, Buddha, Kristen, Jain, Parsi, dan Sikh.
Program ini diperkenalkan pada tahun 2009, mengikuti rekomendasi Komite Sachar, yang dibentuk oleh mantan pemerintah Aliansi Progresif Bersatu yang berkuasa untuk mempelajari status sosial, ekonomi, dan pendidikan komunitas muslim di India.
Menurut temuan komite pada tahun 2009, hanya 7% dari total populasi di atas usia 20 tahun yang lulus atau memegang ijazah, dan di antara populasi muslim, proporsinya kurang dari 4%.
Laporan itu mengatakan bahwa kebijakan "tindakan afirmatif perlu disesuaikan untuk memperhitungkan defisit yang dihadapi oleh muslim miskin dan non-miskin di pendidikan tinggi."
Meskipun beasiswa ini diperuntukkan bagi siswa dari semua kelompok minoritas, sebagian besar penerima manfaat adalah siswa muslim. Menurut data yang diberikan oleh Kementerian Urusan Minoritas, siswa muslim merupakan lebih dari 70% dari penerima beasiswa pada 2018-2019.
"Selama bertahun-tahun, ribuan siswa dari latar belakang kurang mampu telah mendapat manfaat dari persekutuan yang seharusnya tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi," kata Fawaz Shaheen, Sekretaris Nasional Organisasi Islam Mahasiswa India, sayap mahasiswa dari organisasi keagamaan Jamaat-e-Islami.
Seorang sarjana yang mengejar gelar PhD di bidang STEM di sebuah universitas pemerintah di negara bagian utara Uttar Pradesh mengatakan kepada DW tentang tekanan belajar tanpa dukungan keuangan.
"Saya tidak memenuhi syarat untuk MANF dalam dua tahun pertama PhD saya, jadi saya telah mengalami dampak psikologis karena tidak memiliki dukungan dana saat mengejar karier dalam penelitian," kata sarjana tersebut kepada DW yang meminta identitasnya disembunyikan.
Menurut sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan oleh Council for Social Development, yang menganalisis data pendidikan dari sensus resmi, pendaftaran keseluruhan di pendidikan tinggi adalah 23% pada tahun 2010. Persentase pendaftaran siswa muslim hanya mencapai 13,8%.
Laporan itu menyimpulkan bahwa anggota komunitas muslim memiliki kemungkinan paling kecil untuk berpartisipasi dalam pendidikan tinggi.
"Muslim adalah kelompok yang paling membutuhkan tindakan afirmatif. Penghentian MANF merupakan pukulan yang lebih besar bagi komunitas muslim dibandingkan dengan minoritas agama lainnya," kata Khalid Khan, Asisten Profesor di Indian Institute of Dalit Studies.
Para siswa mempertanyakan "logika mundur ke belakang"
Sementara itu, Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman mengatakan bahwa siswa yang memenuhi syarat untuk beasiswa sebelum 31 Maret 2022, akan terus menerima manfaat untuk sisa periode kursus mereka. Keputusan mendadak untuk membatalkan MANF telah menyebabkan kegemparan di antara komunitas muslim.
Mempertanyakan alasan "tumpang tindih" oleh pemerintah untuk menghentikan MANF, Ahmed mengatakan bahwa logika yang sama dapat diterapkan pada skema beasiswa lain yang disediakan untuk kelompok marjinal.
"Tidak ada pertanyaan tentang tumpang tindih. Satu siswa hanya dapat memanfaatkan satu persekutuan pada satu waktu," kata Suarabh Anand, yang termasuk dalam komunitas Buddhis dan merupakan sarjana PhD yang terdaftar di Central University of Himachal Pradesh.
Mengungkapkan keprihatinannya, dia berkata, "para sarjana peneliti dari semua latar belakang khawatir sekarang karena pemerintah dapat menutup skema beasiswa lain dengan alasan yang sama."
"Ini sama sekali bukan lingkungan yang kondusif jika pemerintah ingin penelitian berkembang," tambahnya.
Sejak Desember 2022, beberapa organisasi mahasiswa telah memprotes keputusan tersebut dan melakukan protes di seluruh negeri.
Banyak pemimpin politik telah mengangkat masalah ini di parlemen dan menuntut agar pemerintah menarik keputusannya untuk menghentikan beasiswa.
Anggota parlemen Imran Pratapgarhi mengatakan kepada DW bahwa langkah pemerintah merupakan "anti-minoritas" dan "anti-mahasiswa" serta akan berdampak buruk pada ribuan orang.
Sukhadeo Thorat, mantan Ketua Komisi Hibah Universitas, yang merupakan badan hukum yang mengawasi dan mendanai universitas di India, mengatakan bahwa "ada kelompok sosial tertentu yang tertinggal sehingga ada kebutuhan untuk kebijakan khusus kelompok. Jika kita ingin menjembatani kesenjangan, harus ada dorongan tambahan untuk kelompok-kelompok seperti itu."
Kementerian Urusan Minoritas India tidak menanggapi permintaan komentar dari DW.
(yas/ha)