Sri Mulyani: Kesetaraan Gender Bukan Ancaman Bagi Laki-laki
14 Juli 2021Kariernya terjal, lebih berat ketimbang laki-laki. "Dunia tidak adil buat kaum perempuan," kata Sri Mulyani. Sejak diangkat sebagai menteri keuangan perempuan pertama pada 2005 lalu, dia kini menjelma sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.
DW berbincang dengannya sebagai bagian dari seri reportasi "Era Merkel: Perempuan di Tampuk Kekuasaan." Bagi laki-laki, akses untuk jabatan tinggi terbuka lebih lebar, kata Sri. "Buat perempuan Anda harus benar-benar membuktikan Anda bisa." Tuntutan ini menjadi "beban berganda" bagi karier banyak perempuan.
Karier Sri Mulyani sebagai seorang ekonom mulai melambung saat dunia diterpa krisis keuangan global pada 2008 silam. Berkat kegigihannya mereformasi sistem perpajakan dan menerapkan disiplin anggaran, Indonesia dianggap mampu membebaskan diri dari jerat inflasi. Hanya dua tahun berselang, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai tingkat tertinggi sejak krisis ekonomi 1998.
Sejak itu Sri Mulyani mendulang reputasi sebagai ekonom tangguh, dan berulangkali masuk dalam daftar 100 perempuan paling berpengaruh di dunia.
Perempuan berusia 58 tahun itu dilahirkan di sebuah keluarga akademis beranak sepuluh. Ibunya yang seorang guru besar merupakan perempuan Indonesia pertama yang mendapat gelar doktor. Kegigihan sang ibu meniti karier akademik sembari membesarkan sepuluh orang anak kini menjadi pegangan Sri.
"Salah satu motivasi terbesar adalah untuk membuktikan bahwa perempuan mampu melakukan banyak hal," kata dia.
"Kesetaraan bukan ancaman"
Saat ini hanya separuh perempuan Indonesia yang tercatat bekerja dan menerima pendapatan secara rutin. Tingkat pengangguran yang tinggi enggan menurun selama hampir dua dekade, sejak Sri berkuasa. Di Indonesia, kaum perempuan masih diharapkan mengurus keluarga, ketimbang meniti karier pribadi.
Seperti ibunya, Sri Mulyani pun harus menyeimbangkan antara karier dan keluarga. Tapi perempuan beranak tiga itu tidak lantas senonoh menggampangkan situasi bagi kaum ibu. "Situasinya sulit," kisahnya. Tanpa bantuan suami, karier Sri Mulyani tidak akan berjalan mulus, tuturnya.
"Saya punya suami, yang seperti ayah saya, sangat mendukung. Dia tidak merasa terintimidasi. Dia tidak merasa inferior menikahi perempuan yang dianggap sama kuat."
"Jika perempuan punya pendidikan tinggi, mereka sering diberitahu akan membuat gentar para lelaki," ujarnya. "Laki-laki harus tahu bahwa kesetaraan bukan ancaman bagi mereka."
Tapi realita di lapangan belum mencerminkan kesetaraan tersebut. Saat ini Indonesia masih digolongkan sebagai negara kedua paling berbahaya bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik. Satu dari tiga orang perempuan Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Pernikahan anak yang masih marak, dan lemahnya kekuatan hukum yang melindungi hak perempuan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.
Sebab itu Sri Mulyani menilai pendidikan sebagai pondasi utama bagi kesetaraan. Menurutnya tekanan bagi generasi perempuan di masa depan untuk sukses akan semakin besar. "Mereka akan selalu dibandingkan dengan tokoh yang berhasil mendobrak tradisi," katanya, sembari mengimbau perempuan agar tidak segan melampaui batas pribadi, "bahkan jika cuma satu sentimeter pun."
"Hal ini akan membuka ruang yang lebih luas bagi para perempuan yang ingin mengikuti."
rzn/pkp