Stres Akibat Udara Panas Ancam Produktivitas
27 Juni 2021Minggu lalu, saat temperatur mencapai suhu 35 derajat Celcius selama beberapa hari di Eropa, orang-orang sudah mengeluh karena kelelahan akibat suhu panas. Keluhan ini terdengar di kalangan para pekerja baik yang di kantor maupun di luar ruangan.
Lalu bagaimana dengan mereka di negara-negara khatulistiwa dan Asia selatan? Orang-orang harus bekerja di tengah udara yang kian panas akibat perubahan iklim. Dan ini tidak hanya berlangsung selama beberapa hari, tapi nyaris sepanjang tahun.
Pemanasan global dan penurunan produktivitas
Buruh berpenghasilan rendah yang bekerja di bidang pertanian atau konstruksi utamanya yang bekerja di luar ruangan sangat rentan menderita stres karena panas. Akibatnya, mereka cepat menderita kelelahan akibat panas, heat stroke atau sengatan panas, dan terkadang kematian.
Para peneliti juga semakin tertarik untuk melacak hubungan antara tekanan panas dan penurunan produktivitas sebagai bagian dari aksi iklim yang dilihat dari segi ekonomi.
Di Afrika Selatan, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diperkirakan menurun hingga 20% pada tahun 2100 jika pemanasan terjadi pada prediksi garis atas 3,5 derajat Celcius, menurut sebuah studi tahun 2020 yang ditulis bersama oleh para peneliti di lembaga Euro-Mediterranean Center on Climate Change (CMCC) di Venesia, Italia.
Sebagian besar dampaknya ditanggung oleh pekerja luar ruangan yang sering kali berketerampilan rendah di bidang pertanian, pertambangan, penggalian, dan konstruksi, jelas rekan penulis Shouro Dasgupta, peneliti dan dosen di CMCC.
Studi menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pekerja berketerampilan rendah menurun saat suhu udara melampaui ambang batas 26,2 derajat Celcius. Tanpa memperhitungkan dampak iklim lain seperti kenaikan permukaan laut, banjir, atau kekeringan, perkiraan penurunan produktivitas sebesar 20% kemungkinan merupakan perkiraan konservatif, kata Dasgupta.
Sementara sebuah studi global tahun 2019 oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa stres dipicu panas dalam perubahan iklim dapat menurunkan tingkat produktivitas global setara dengan jam kerja dari 80 juta pekerjaan penuh waktu pada tahun 2030.
Ini berarti bahwa sekitar 2,2% dari total jam kerja di seluruh dunia dapat hilang karena panas yang ekstrem pada akhir dekade ini. Di negara-negara yang lebih panas di Asia selatan dan Afrika barat di mana banyak terdapat proporsi bagi buruh berpenghasilan rendah, hilangnya jam kerja akibat stres yang dipicu suhu panas bahkan bisa mencapai 5%.
"Pada suhu 24-25 derajat, produktivitas dan kecepatan kita mulai melambat," kata Catherine Saget, peneliti di Jenewa yang juga penulis utama laporan ILO tentang bekerja di planet yang lebih hangat. Pada suhu 35 derajat Celcius, pekerja pertanian atau konstruksi dengan "intensitas fisik kerja yang tinggi" kehilangan produktivitas 30 menit setiap jamnya karena stres akibat panas yang di beberapa lokasi juga diperburuk oleh tingginya kelembaban udara, ujar Catherine Saget.
Pekerja di Qatar meninggal akibat panas ekstrem
Kematian ribuan buruh migran yang bekerja di infrastruktur sepak bola Piala Dunia di Qatar selama satu dekade terakhir telah menjadi berita di halaman depan media. Banyak yang meninggal karena stres akibat panas.
Pekerja Nepal berusia 20-an dan 30-an di Qatar banyak yang meninggal akibat serangan jantung yang kemungkinan dipicu oleh stres tubuh akibat panas, menurut laporan tahun 2019 oleh para ahli kardiovaskular.
Setelah banyaknya kematian, otoritas di Qatar akhirnya menanggapi dengan undang-undang tentang bekerja di udara panas yang disahkan pada Mei lalu. Larangan bekerja di luar telah diperpanjang dari pukul 10 pagi hingga 15:30 sore mulai dari bulan Juni hingga September. Pekerja juga harus menghentikan aktivitas mereka jika suhu tempat kerja mencapai 32,1 derajat Celsius.
Pada bulan Juni, larangan kerja tengah hari musim panas mulai berlaku di negara lain di Timur Tengah, termasuk di Kuwait, Oman, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Catherine Saget mengatakan ada "peningkatan kemauan politik" di seluruh dunia untuk menangani kesehatan dan keselamatan kerja para buruh akibat tekanan panas. Dia mengutip kebakaran pabrik tahun 2013 yang menewaskan lebih dari 1.000 pekerja di Rana Plaza di Bangladesh sebagai pemicu utama pergeseran untuk mulai memperbaiki kondisi pekerja.
Jam kerja lebih pendek, penghasilan kian rendah
Pekerja berpenghasilan rendah dan berketerampilan rendah yang sudah menderita akibat ketidaksetaraan ekonomi. Mereka juga harus menanggung beban terberat dari meningkatnya suhu di tempat kerja. Dengan jam kerja yang lebih pendek, para buruh yang sudah miskin ini akan cenderung lebih miskin lagi. "Anda bekerja lebih sedikit, Anda menghasilkan lebih sedikit," kata Shouro Dasgupta, seorang peneliti di CMCC.
Memburuknya gizi dan kondisi malnutrisi di kalangan pekerja berpenghasilan rendah juga akan memperbesar dampak stres akibat panas. Menurut studi tahun 2020 yang ditulis bersama oleh Dasgupta, buruh petani di Uganda yang sudah mengalami rawan pangan karena perubahan iklim tidak akan dapat mengakses kalori ekstra yang dibutuhkan tubuh mereka untuk meregulasi suhu tubuh agar tetap dingin dan mempertahankan produktivitas di bawah tekanan panas.
Hal ini akan memperbesar kerugian akibat hilangnya produktivitas tenaga kerja karena kenaikan suhu, yang diperkirakan akan menyebabkan penurunan produktivitas ekonomi hingga sebesar 20% menjelang akhir abad ini.
Lingkaran setan macam ini kemungkinan terus terjadi di wilayah khatulistiwa. Apalagi sebagian besar negara di wilayah sub-Sahara Afrika dan Asia selatan tidak menawarkan perlindungan bagi para pekerjanya dari tekanan panas, Dasgupta menegaskan. (ae/yp)