Sudan Selatan Dilanda Darurat Kelaparan
13 Maret 2021Direktur Jendral Komitee Palang Merah Internasional mewanti-wanti, sebanyak 60% penduduk di negara paling muda di dunia itu kian terancam kelaparan.
"Tidak ada keraguan bahwa krisis saat ini sedang terseret menjadi sesuatu yang lebih mengerikan,” kata Direktur ICRC, Robert Mardini, Kamis (11/03), mengabarkan kunjungannya pekan lalu.
Sudan Selatan kewalahan memulihkan situasi keamanan selepas perang saudara selama lima tahun yang diklaim menewaskan hampir setengah juta orang.
Pemerintahan persatuan yang dibentuk kedua musuh, Presiden Salva Kiir dan pemimpin oposisi, Riek Machar, dianggap lamban mengimpelentasikan perjanjian damai.
Kebuntuan politik di ibu kota Juba melatari gelombang pertumpahan darah di sejumlah wilayah di Sudan Selatan.
Menurut Mardini, konflik di negeri kaya mineral itu merupakan "salah satu krisis kemanusiaan paling rumit di seluruh dunia."
"Kami menyaksikan betapa kelangkaan pangan semakin menyebar. Sementara penularan Covid-19 yang tak tercatat membuat bencana yang sudah akut ini semakin parah."
Bencana di mulut senjata
Meski pertempuran antara militer dan pasukan pemberontak telah mereda, "pertumpahan darah antara partai-partai kecil atau kelompok pecahan dan antarwarga masih menimbulkan korban jiwa, pengungsian dan kerusakan," kata Mardini.
Dia mengaku berkunjung ke rumah sakit terbesar di Akabo, di timur negara bagian Jonglei, di mana hingga 200.000 pasien dirawat. Menurutnya, kekerasan antarwarga bersumber pada permusuhan lama seputar lahan dan ternak yang dikompori agenda politik dari ibu kota.
Beberapa korban menderita luka tembak, sementara yang lain mengalami serangan seksual atau pemerkosaan, kisah Mardini. Anak-anak kebanyakan mengidap malaria atau dirawat karena kekurangan gizi.
"Kasus-kasus ini cuma pucuk gunung es," kata dia. Perang dan kehancuran dikabarkan ikut memusnahkan lumbung pangan di berbagai wilayah.
"Penghitungan kami menunjukkan bahwa hasil panen dari tahun lalu berjumlah hanya separuh dari panen di tahun-tahun sebelumnya." Angka itu didapat di sembilan dari sepuluh negara bagian di Sudan Selatan.
Kondisi ini diperparah oleh bencana banjir pada tahun lalu yang berdampak pada setidaknya satu juta penduduk.
Wabah kelaparan mengintai
Menurut laporan ICRC, warga yang mengungsi dari perang kerap kesulitan mendapat bahan pangan, air minum, atau layanan kesehatan.
Situasi di Sudan Selatan termasuk agenda pembahasan Dewan Keamanan PBB pada Kamis (11/03). Dalam kesempatan itu, Sekretaris Jendral Antonio Guterres, mewanti-wanti "pertumpahan darah kronis, cuaca ekstrem, dan dampak ekonomi dari pandemi menempatkan tujuh juta orang dalam ancaman kelaparan akut."
Harga bahan pangan sedemikian tinggi, "harga sepiring nasi dan kacang bernilai 180% lebih tinggi dari rata-rata upah harian," imbuh Guterres.
Direktur Program Pangan Dunia (WFP), David Beasley, mengabarkan "dalam kasus ekstrem, para ibu memberi anaknya makanan dari kulit hewan atau bahkan lumpur," kisahnya di depan DK PBB, usai berkunjung ke Sudan Selatan, Februari silam.
"Warga lokal menyebut tahun 2021 sebagai tahun kelaparan. Dan penderitaan mereka diakibatkan perang dan bencana banjir pada 2019 dan 2020. Mereka terjebak di tengah hujan peluru, dan harus menanggung beban bencana iklim."
PBB sedang melobi untuk membentuk dana darurat sebesar 5,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 79 triliun). Uang itu dibutuhkan guna mencegah bencana kelaparan berturut-turut yang mengancam 34 juta penduduk di tiga negara, termasuk Sudan Selatan.
Jumat (12/03) Dewan Keamanan PBB memperpanjang mandat pasukan penjaga perdamaian PBB di Sudan Selatan selama setahun. Menurut rancangan resolusi, misi utama UNMISS adalah "memastikan agar perang saudara tidak berulang."
rzn/ae (ap, rtr)