1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sungai Mekong Jadi Sengketa Panas Baru di Indo-Pasifik

7 Oktober 2021

Terancam oleh kerusakan dan perubahan iklim, Sungai Mekong kian menjadi rebutan antara Cina dan negara Asia Tenggara. Pertaruhan ekonomi dan lingkungan yang tinggi mengimbas pada lahirnya konflik baru di Indo-Pasifik

https://p.dw.com/p/3z2go
Proyek Nam Theun 1 di Borikhamxay, Laos
Cina membangun bendungan di Borikhamxay, LaosFoto: Sinohydro 3/Xinhua/picture alliance

Selama ini politisi Amerika Serikat telah mengadopsi slogan Jepang "Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," dengan menyerukan diberlakukannya hukum internasional untuk diterapkan atas perselisihan di Laut Cina Selatan, di mana Cina dituduh bertindak agresif.

Awal bulan ini, dalam pertemuan para menteri luar negeri KTT Asia Timur, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyerukan "Mekong yang bebas dan terbuka." Slogan terbaru menunjukkan pentingnya Sungai Mekong bagi perdamaian dan stabilitas di daratan Asia Tenggara, serta adanya dugaan ambisi Cina untuk mendapatkan keuntungan geopolitik dari sengketa di kawasan sungai.

Sungai Mekong mengalir dari dataran tinggi Tibet, ke Cina, melalui Myanmar, Laos, Thailand, dan Kamboja sebelum memasuki wilayah delta Vietnam.  Ratusan bendungan pembangkit listrik tenaga air telah dibangun di atas dan di hilir sungai itu sejak tahun 2010, dan sebagian besar berada di Cina dan Laos.

Laos, anggota termiskin dari blok asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dan negara yang terkurung daratan tanpa banyak sektor manufaktur, telah mencatat pertumbuhan PDB rata-rata 7% selama beberapa dekade terakhir, sebagian besar berkat ekspor energi listrik tenaga air.

Bencana lingkungan dibayangi oleh agenda politik

Namun, pembangunan bendungan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan dugaan penggusuran paksa dan pembukaan lahan di seluruh wilayahnya. Ketika bendungan runtuh di selatan Laos pada tahun 2018, setidaknya 40 orang tewas dan ratusan rumah di wilayah tersebut kebanjiran.

Thailand dan Vietnam sekarang juga mengatakan mereka mengalami banjir dan kekeringan yang tidak biasa karena pembendungan di bagian hulu Sungai Mekong. Pianporn Deetes, direktur kampanye LSM global, International Rivers wilayah Thailand dan Myanmar berpendapat bahwa meningkatnya minat Amerika dan Cina di Mekong telah membuat sengketa di sana "lebih dipolitisasi dan terpolarisasi." Kekhawatiran masyarakat pinggiran sungai tambahnya, "dibayangi atau dikesampingkan oleh agenda politik."

Para kritikus mengatakan bahwa Cina bisa dengan mudah mengancam untuk secara sengaja menahan sebagian besar air sungai di hulu, yang bisa mengakibatkan bencana kekeringan ekstrem di Thailand dan Vietnam, sebagai cara untuk menekan Bangkok dan Hanoi agar menerima tujuan geopolitik Beijing. Pada akhir Juli, peretas Cina diduga mencuri data di Sungai Mekong dari server Kementerian Luar Negeri Kamboja.

Di sisi lain, peningkatan pendanaan dari inisiatif yang dipimpin AS dan Cina kepada pemerintah dan lembaga di kawasan itu telah "berkontribusi pada perhatian publik yang lebih besar dan perdebatan tentang isu-isu penting bagi masa depan Sungai Mekong dan rakyatnya," kata Deetes kepada DW.

Bisakah AS dan Cina bekerja sama?

Pada tanggal 2 Agustus, Menteri Luar Negeri AS Blinkenmenjadi tuan rumah bersama pertemuan menteri kedua Kemitraan Mekong-AS, yang dibuat pada tahun 2020 untuk memperluas kerja forum sebelumnya, Inisiatif Mekong bagian hilir.  Forum Kerjasama Lancang-Mekong yang dipimpin Beijing dibentuk pada tahun 2016.  "Penekanan AS pada transparansi dan inklusivitas sebagai bagian dari Kemitraan Mekong-AS memungkinkan hasil yang produktif di kawasan Mekong dan mengurangi kesenjangan akuntabilitas Cina di regionalnya sendiri,” kata Brian Eyler, direktur program Asia Tenggara Stimson Center.

Bahkan ada klaim bahwa terlepas dari konflik yang mewarnai, Sungai Mekong bisa menjadi salah satu masalah yang menjadi perhatian Beijing dan Washington.  "Konservasi lingkungan Sungai Mekong sebenarnya adalah area utama keselarasan bagi AS dan Cina,” papar Cecilia Han Springer, seorang peneliti senior di Global China Initiative di Global Development Policy Center.

Sengketa di Asia Tenggara

Susanne Schmeier, seorang profesor di bidang Hukum dan Diplomasi Perairan di IHE Delft, mengidentifikasi ketegangan utama antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara, dan di antara negara-negara Asia Tenggara itu sendiri. "Data menunjukkan bahwa Thailand adalah investor terbesar di bendungan pembangkit listrik tenaga air di Laos, yang membangun bendungan empat kali lebih banyak dari Cina," kata Eyler.

Thailand juga merupakan importir listrik terbesar yang dihasilkan oleh bendungan pembangkit listrik tenaga air Laos. Tapi sudah ada kelebihan daya yang dihasilkan oleh bendungan di Laos, "Akan bijaksana untuk menghentikan pembangunan bendungan di masa depan sampai masalah pasokan-permintaan ini terselesaikan," tuturnya. Deetes mengatakan, "Sebagai pemodal utama dan pembeli listrik dari arus utama Mekong dan bendungan anak sungai di Laos, Thailand memiliki peran kunci untuk dimainkan untuk mengurangi dampak di Sungai Mekong dan masyarakatnya."

Pada bulan Februari 2020, pemerintah Thailand mengakhiri Proyek Peningkatan Saluran Navigasi Lancang-Mekong yang dipimpin Cina atas kemungkinan dampak sosial dan lingkungan. Pada bulan Januari tahun ini, otoritas Thailand menolak laporan teknis baru yang dikeluarkan oleh pengembang Cina dari proyek bendungan Sanakham senilai $2 miliar di Laos, dengan alasan bahwa laporan tersebut tidak menilai dampak lingkungan dari komunitas hilir, sebagian besar di Thailand sendiri. "Thailand harus lebih proaktif dalam mengatasi dampak dari air terjun Lancang, termasuk bekerja sama dengan negara-negara Mekong lainnya, untuk mengadvokasi perubahan cara bendungan dioperasikan untuk mengurangi dampak pada sungai dan masyarakat di hilir," kata Deetes.

Ketergantungan ekonomi pada Cina

Tetapi seberapa besar pengaruh negara-negara Asia Tenggara lainnya terhadap Laos masih diragukan.  Masalah yang lebih besar adalah apakah Laos, yang disebut sebagai baterai Asia, dapat menghentikan ketergantungan ekonominya pada investasi dan ekspor pembangkit listrik tenaga air. Tidak seperti tetangganya, Laos tidak memiliki sektor manufaktur berbiaya rendah yang besar.  Ekspornya ke AS dan Uni Eropa cenderung terabaikan. Uni Eropa mengimpor barang senilai €300 juta dari Laos tahun lalu, menurut data Komisi Eropa.  Sebaliknya, ekonomi Laos tetap sangat bergantung pada ekspor tenaga air, pertambangan dan pertanian.

"Saya tidak berpikir Laos kemungkinan akan mengalihkan strateginya saat ini karena ekspor tenaga air ke negara-negara tetangga menyediakan sumber pendapatan yang dapat diandalkan dan menjanjikan," kata Schmeier. Schmeier menambahkan, pemerintah Laos juga tidak memiliki banyak insentif untuk mendiversifikasi ekonominya. Pembangunan bendungan memberikan berbagai peluang untuk "penghasilan pribadi tambahan" bagi pejabat pemerintah dan aktor lainnya, katanya. Dan Cina, salah satu sekutu politik dan mitra dagang terdekat Laos, adalah investor utama dalam proyek-proyek ini. Kekhawatiran telah diungkapkan bahwa utang besar Laos ke Cina menempatkannya pada risiko dugaan "diplomasi perangkap utang" Beijing, yang dapat memaksanya untuk menjual aset-aset penting negara ke Cina.Pada tahun 2020, sebuah perusahaan Cina secara efektif mengambil alih jaringan listrik domestik Laos.

Setelah membuat katalog 100 proyek pembangkit listrik tenaga air terbesar di wilayah Mekong, Springer menemukan bahwa sebagian besar proyek tenaga air di Laos berencana untuk mengekspor hingga 90% listrik yang dihasilkan ke luar negeri.  Namun, tambahnya, sumber energi terbarukan lainnya, seperti angin dan matahari, "dapat memenuhi sebagian besar permintaan listrik Laos dengan aliran pendapatan yang sama dan investasi modal yang lebih sedikit daripada jika pipa tenaga air saat ini dibangun." (ap/hp)