1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suriah dan Lebanon Buka Hubungan Diplomatik

Agenturen15 Agustus 2008

Untuk pertama kalinya sejak 40 tahun, Suriah dan Libanon membuka hubungan diplomatik.´Amerika Serikat, Uni Emirat Arab dan Kuwait menyambut normalisasi hubungan kedua negara.

https://p.dw.com/p/ExTZ
Presiden Suriah, Bashar Assad, kanan dan Presiden Lebanon President Michel Suleiman di Damaskus.Foto: AP / DW

Pemimpin Suriah menunjukan sikap bersahabat. Bashar al-Assad menerima rekannya Michel Suleiman dari Libanon dengan penghormatan tertinggi. Kepada pers penasihat Al-Assad, Butheina Schaaban mengumumkan: “Kedua presiden sepakat untuk membuka hubungan diplomatik sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, para menteri luar negeri telah diperintahkan untuk mengambil langkah yang sesuai.”

Enam puluh tahun silam, Libanon dan Suriah menuntut kemerdekaan dari Perancis. Meski begitu Suriah tak bersedia mengakui kemerdekaan Libanon dan kerap memandang negara tetangga itu sebagai bagian dari sejarahnya. Perang saudara dari tahun 1975 hingga 1990 di Libanon diikuti dengan merambah masuknya pasukan Suriah ke Libanon dengan alasan mengamankan situasi. Karenanya tak heran bila masih terdapat sederetan masalah yang bagai duri mengoyak hubungan itu. Pembunuhan mantan perdana menteri Libanon, Rafik al Hariri Februari 2005 menyebabkan hubungan kedua negara putus. Libanon menuduh Suriah mendalangi pembunuhan itu dan Suriah akhirnya menarik pulang pasukannya.

Kini Libanon memiliki pemerintahan koalisi, dimana oposisi yang didukung Suriah dan Iran memilliki hak suara. Dan Suriah bisa dengan tenang mengakui kemerdekaan Libanon. Selain pembukaan hubungan diplomatik, dalam pertemuan bersejarah ini, kedua presiden menyepakati sejumlah hal, a.l. pembahasan ulang garis perbatasan wilayah Libanon dan Suriah.

Amerika Serikat menyambut normalisasi hubungan Suriah dengan Libanon. Sementara pengamat politik Barat menilai langkah ini sebagai upaya memperbaiki hubungan Suriah dengan negara-negara barat. Di pihak lain, Amerika Serikat masih mengkategorikan Damaskus sebagai negara pendukung terorisme, dukungan pemerintah Suriah kepada milisi Shiah, Hisbullah di Libanon. Memang tak semua pihak di Libanon meyakini niat baik Suriah.

Mark Daow, penasehat politik parlemen Libanon menguatirkan kemungkinan kembalinya Suriah melalui pintu belakang. “Tidak aneh bila mereka menggunakan segala kesempatan untuk mengukuhkan dominasinya di Libanon lagi, dalam sektor keamanan, melalui mitra politiknya, melalui milisi yang mereka dukung itu. Suriah memang berkepentingan untuk mempengaruhi Libanon, negara tetangganya yang lebih lemah“.

Meski begitu, Saad al Hariri, putra almarhum Rafik al Hariri menyambut kesepakatan antara kedua negara itu. Bagi dia, hal ini merupakan era baru bagi hubungan Suriah dan Libanon. Sedangkan surat kabar Suriah „Tishrin“ menulis, hubungan diplomatis akan dilandasi saling menghormati, persahabatan dan dialog.

Kesepakatan yang diharapkan dapat menormalisasi hubungan antara kedua negara itu dibayangi oleh rangkaian serangan bom di kota Tripoli. Sembilan serdadu dan lima warga sipil tewas di kota yang terletak di utara Libanon itu hari Rabu. Sedikitnya 45 orang terluka. Pekerja palang merah melarikan mereka ke rumah sakit. Suriah dan Amerika Serikat mengecam serangan mematikan itu dan sampai kini belum diketahui siapa yang bertanggung jawab atas aksi teror itu. (ek)