Syiah-Sunni: Kebencian Mengakar di Arab Saudi
2 Juni 2015
Sekitar 10.000 orang membanjiri jalan-jalan utama di Qatif, Arab Saudi, buat memrotes serangan bom Islamic State terhadap masjid kaum Syiah. "Insiden seperti ini tidak akan mendestabilisasi negara kami," ujar putra mahkota Muhammad bin Nayef yang juga menjabat menteri dalam negeri Arab Saudi.
Aksi tersebut menggambarkan kekhawatiran besar yang menjalar di Arab Saudi menyusul aksi teror yang muncul dalam sepekan terakhir. Jumat silam seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya di sebuah masjid kaum Syiah di Dammam. Sepekan sebelumnya sekitar 21 orang tewas akibat serangan serupa di kota Al-Qudaih.
Islamic State secara resmi mengklaim mendalangi kedua serangan. Dengan menyasar komunitas Syiah, kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu dinilai berniat mengadu domba kaum Sunni dan kelompok minoritas. Rencana tersebut bukan tanpa perhitungan. Hubungan antara mayoritas Sunni dan kelompok Syiah di Arab Saudi sejak lama koyak oleh sentimen keagamaan.
Menyatukan Sunni dan Syiah
Sebab itu media-media setempat berduyun-duyun mengutuk serangan tersebut. Harian "al-Hayat" misalnya menyebut "pelaku yang meledakkan bom tersebut bukan Sunni, melainkan penjahat. Perilakunya besebrangan dengan ajaran Sunni."
Pandangan senada diterbitkan oleh harian Asharq al-Aswat. "Kaum ekstremis berupaya mengadu domba penduduk. Ini mereka lakukan dengan membagi penduduk berdasarkan kategori agama atau etnis. Dan strategi ini membuat sebagian memandang identitas keagamaan lebih penting ketimbang loyalitas pada tanah air."
Kelompok minoritas Siyah di Arab Saudi berjumlah 10 persen dari populasi total, atau sekitar tiga juta orang. Kebanyakan hidup di timur, di tepi teluk Persia yang memiliki cadangan minyak terbesar di negeri para Emir itu. Sementara sekelompok kecil Siyah Houthi hidup di perbatasan Yaman.
Hubungan antara kedua aliran terbesar dalam Islam itu bukan tanpa ketegangan. Setelah Iran menjelma menjadi republik Islam 1979 silam, kaum Syiah di Arab Saudi berulangkali menuntut kebebasan dan intergrasi sosial yang lebih luas.
Iran di Balik Minoritas Syiah di Arab Saudi?
Kehadiran Iran sebagai republik Islam menambah nuansa politik dalam hubungan Sunni dan Syiah di Arab Saudi. Berulangkali penguasa di Riyadh menuding negeri jiran itu menyulut aksi protes minoritas Syiah di wilayahnya.
Konflik dengan Iran juga sering berujung pada tindakan represif pemerintah Arab Saudi terhadap penduduk Syiah di timur. "Terlalu sering aksi demonstrasi legitim kaum Syiah dituding sebagai pemberontakan yang disetir oleh Teheran," tulis mingguan online "al-Monitor."
Oktober 2014 silam, seorang ulama Syiah di Arab Saudi divonis hukuman mati atas tudingan menyulut pemberontakan, vandalisme dan bersikap non kooperatif terhadap negara.
Di sisi lain Riyadh tidak pernah melupakan teror bom tahun 1996 yang ditengarai didalangi oleh kaum Syiah. Sekitar 19 serdadu Amerika Serikat tewas ketika bom meledak di depan menara Khobar di Dhahran. 500 lain dinyatakan luka-luka.
Pengadilan AS kemudian menyebut Iran dan kelompok militan Hizbullah sebagai dalang serangan tersebut.
Rekonsiliasi demi Kaum Muda
Seiring insiden tersebut ketegangan antara dua kelompok agama semakin meningkat. "Propaganda Sunni radikal terhadap Iran dan Syiah tersebar luas di Arab Saudi. Seringkali ini didukung oleh ulama Sunni," tulis al-Monitor yang berbasis di Amerika Serikat.
Sebaliknya aktivis Syiah di Arab Saudi juga sering menuding mayoritas Sunni mendukung aksi teror terhadap kaum Syiah. Melalui Twitter mereka menyebut serangan bom IS pada 22 Mai lalu sebagai teror "made in Saudi Arabia."
Maka aksi protes di Qatif tidak cuma mengarah pada IS, tetapi juga menjadi upaya buat membangun jembatan antara kedua kelompok. Rekonsiliasi tidak terhindarkan, tulis harian al-Hayat. "Karena jika tidak gerakan ekstrimis akan mulai menggerogoti pilar paling penting negeri ini, yaitu kaum muda."