Tajuk: Kekalahan Partai Demokrat Progresif DPP dalam Pemilu Taiwan
14 Januari 2008Para pemilih di Taiwan dengan tegas menolak politik dari Partai Demokrat Progresif DPP yang memerintah. Padahal presiden Taiwan Chen Shui-bian punya harapan besar. Dari seluruhnya 113 kursi dalam parlemen, DPP diharapkan meraih sekurangnya 50 kursi, tetapi yang diperoleh hanya 27. Sebelumnya ia mengimbau para pendukung DPP untuk memberikan sinyal bagi pemilihan presiden bulan Maret mendatang. Pesan sebenarnya yang ingin disampaikan Chen, juga langsung dipahami. Ia menyerahkan kepemimpinan partai DPP kepada kandidat presiden dari partainya itu, Frank Hsieh.
Pertengahan tahun 80-an Partai Demokrat Progresif DPP lahir dari gerakan protes menentang kekuasaan tunggal partai Kuomintang. Selama masa pemerintahannya Chen Shui-bian terus mempertahankan kebijakan menuju kemerdekaan dan menjengkelkan RRC. Tahun 2005 Kongres Rakyat Cina di Beijing menetapkan posisi Cina melalui UU anti pemisahan diri. Artinya pernyataan resmi kemerdekaan Taiwan akan menimbulkan reunifikasi lewat kekerasan.
Karena Taiwan didukung oleh AS, konflik mengenai pulau itu akan menjurus pada konfrontasi dua negara nuklir, AS dan Cina. Itu sama sekali tidak diinginkan oleh Washington. Jadi upaya Chen untuk memperoleh ruang gerak yang lebih luas bagi Taiwan hanya memperburuk hubungan dengan sekutu terpentingnya, AS.
Para pemilih juga menunjukkan ketidak-senangan akan serangkaian skandal korupsi di lingkungan Presiden Chen. Tetapi hasil pemilu itu jelas merupakan penolakan terhadap politik DPP yang memecah-belah masyarakat. Misalnya dengan usaha mencekoki masyarakat agar menggeser warisan budaya Cina dengan apa yang dikatakannya sebagai identitas Taiwan sendiri. Rencana itu mencakup perombakan buku pelajaran sekolah dan konsep pameran pada Museum Nasional di Taipeh, yang memiliki koleksi khazanah benda-benda seni Cina yang tak ada duanya di dunia.
Beijing tidak terlalu menunjukkan kegembiraan mengenai kemenangan Kuomintang. Media-media Cina hanya mengutip perkiraan para ilmuwan, bahwa hasil pemilu itu akan menguntungkan hubungan bilateral. Kuomintang dianggap bersahabat dengan Cina dan Beijing berulangkali mengundang tokoh-tokoh partai itu. Dalam pemilu belakangan ini Beijing telah belajar dari pengalaman untuk tidak terlalu mencampuri kampanye pemilu di Taiwan, karena itu hanya memperkuat para pendukung kemerdekaan.
Tetapi kemenangan Kuomintang bukan jaminan akan segera terwujudnya reunifikasi. Di Taiwan itu sama tidak populernya dengan demokrasi bagi Cina daratan. Tetapi warga Taiwan mengharapkan politik yang sepantasnya, bukan konfrontasi yang dijalankan Chen Shui-bian. Kondisi seperti sekarang ini dapat mereka terima.
Mayoritas tipis Kuomintang dalam parlemen kini berubah menjadi mayoritas duapertiga. Apakah warga telah melupakan tangan besi Kuomintang selama 40 tahun kekuasaan tunggalnya dulu, akan terlihat pada pemilihan presiden bulan Maret mendatang. Para pemilih di Taiwan nampak lebih menyukai kekuasaan yang terbagi.