Sebagai negara dengan mega sumber daya alam, Indonesia memiliki kesempatan luas dalam mengatasi perubahan iklim. Penggunaan teknologi baru seperti blockchain, Internet of Things (IoT), citra satelit, drone dan Artifical Intelligence (AI) dapat membantu mitigasi perubahan iklim dalam bentuk monitoring, evaluasi, efisiensi dan perumusan kebijakan yang tepat sasaran.
Namun tantangan penggunaan hasil riset dan teknologi (ristek) semakin besar seiring dengan rendahnya prioritas ristek pasca pembubaran Kementerian Riset dan Teknologi awal bulan ini. Padahal, bisa bermanfaat untuk mendorong mitigasi perubahan iklim.
Penggunaan teknologi dalam pelestarian lingkungan hidup mendapatkan momentumnya, seiring dengan beberapa pencapaian Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia menurun dalam beberapa tahun terakhir, seperti yang ditunjukkan oleh pemerintah dan nonpemerintah.
Inovasi Teknologi dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Teknologi baru seperti blockchain, Internet of Things (IoT), citra satelit, drone dan Artifical Intelligence (AI) merupakan alat yang efektif untuk pengumpulan data, konservasi serta pengambilan kebijakan yang lebih kuat dalam mitigasi perubahan iklim. Sejumlah individu dan organisasi di Indonesia juga telah menggunakan inovasi teknologi ini secara mandiri.
Salah satunya adalah Indradi Soemardjan, wirausahawan sekaligus Anggota Dewan Penasehat Global AGREA’s Leaders and Enterpreneurs in Agriculture Forum (LEAF). Ia menggunakan teknologi blockchain untuk menelusuri rantai pasokan kopi yang digunakan untuk kedai kopinya, Soma dan aktivitas ekspor ke berbagai negara, termasuk Belgia, Selandia Baru dan Singapura.
Menggunakan blockchain model hyperledger frameworks, Indi memulai Pilot Project bersama 1.000 petani kecil di Jawa Barat pada seratus hari masa panen. Indi mengungkapkan bahwa para pelaku industry pertanian mulai mengadopsi blockchain karena keunikan teknologi ini yang dapat meningkatkan efisiensi serta menyelesaikan masalah terkait keamanan data dan berbagi informasi.
Blockchainjuga digunakan oleh Faisal Yusuf dalam mengkaji teknologi inovatif yang dapat digunakan untuk melawan pembajakan plasma nutfah atau bio-piracy. Sebagai Kepala Riset Lingkungan Hidup dan Energi di Blockchain Climate Institute (BCI), Faisal melihat pengumpulan dan manajemen data melalui platform blockchain dapat menjadi amunisi yang kuat melawan bio-piracy karena sistemnya yang tidak dapat diubah, terpercaya dan cepat. Hal ini sudah dilakukan dengan pembentukan Amazon Bank of Codes pada tahun 2018 yang merupakan kerjasama antara World Economic Forum, Earth Bank of Codes dan Earth Biogenome Project. Inisiatif ini bertujuan untuk mengumpulkan, mendokumentasikan dan mengklasifikasi data genetis dari keanekaragaman hayati yang ada di Hutan Amazon di Brasil ke dalam platform blockchain. Data yang disimpan ini kemudian dapat digunakan oleh negara tempat plasma nutfahnya berada untuk mendapatkan bagian keuntungan dari dari penemuan ilmiah yang berasal dari sumber daya genetis tersebut. Hal ini tentu sangat strategis di Indonesia yang merupakan salah satu lokasi keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Sebagai anggota UN Climate Technology Centre and Network (CTCN), Faisal juga mengembangkan bagaimana teknologi blockchain dapat diterapkan sebagai solusi di kehidupan sehari-hari, seperti melalui pengadaan energi terbaharukan melalui panel surya secara komunitas di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau oleh jaringan listrik nasional.
Salah satu pendiri Asosiasi Blockchain Indonesia & Blockchain Zoo, Pandu Sastrowardoyo juga mengakui bahwa blockhain semakin banyak digunakan untuk memberikan solusi pada sektor lingkungan hidup yang bersifat sistemik, global dan kelemahan sistem manual. Ia ikut mengembangkan solusi blockchain untuk organisasi lingkungan hidup, antara lain untuk Institute for Global Environmental Strategies yang berlokasi di Jepang.
Selain blockchain, teknologi drone juga sudah digunakan untuk pemetaan wilayah di Indonesia. Irendra Radjawali mendirikan Swandiri Instiute dan Akademi Drone yang menghasilkan drone dengan biaya terjangkau untuk memetakan tanah adat yang bermasalah, potensi wisata di daerah terpencil sampai identifikasi lokasi bencana dalam hitungan jam. Lantaran banyak diaplikasikan di desa-desa, pesawat dengan kamera pemotret itu kemudian populer dengan nama Drone Desa.
Citra satelit untuk objektivitas ketersediaan lahan juga digunakan oleh Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Melalui dukungan United Nations Development Programme (UNDP), mereka mengembangkan sistem pemantauan perubahan tutupan lahan hutan dan komoditas pertanian berbasis WebGIS dan aplikasi android (mobile apps).
Platform monitoring yang dikembangkan diberi nama WebGIS EcoSystem (Land Cover Change Monitoring System), yang dapat diakses pada http://lulcc.ipb.ac.id , dan aplikasi Android INA-Alert (Indonesia Alert System). Wakil Rektor IPB University bidang Kerja Sama dan Sistem Informasi, Prof Dr Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan sistem monitoring ini merupakan upaya IPB dalam memberikan kontribusi yang baik bagi kehutanan, perkebunan, maupun sektor yang berbasis lahan yang lain. Hal ini menyusul seiring dengan mandeknya peluncuran One Map Initiative ke publik yang dapat memberikan transparansi kepemilikan lahan dan dialog untuk penyelasaian konflik agraria di tingkat akar rumput maupun nasional.
Dalam kajiannya mengenai titik balik hilangnya hutan Indonesia sebagai kajian bagi pemerintah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (“Conversation about the turning point of forest loss in Indonesia: a review of government targets to achieve sustainable development"), Prof. Dodik memproyeksi Indonesia akan mencapai batas kehilangan hutan mendekati garis irreversible jika pola pengelolaannya masih Business as Usual (BAU).
Prioritas Ristek dalam Kebijakan Nasional
Di tengah pentingnya kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa, Indonesia seperti kehilangan arah dalam menentukan tujuan dan menavigasi arah kebijakan risteknya.. Pembubaran Kementerian Riset dan Teknologi yang diketok oleh Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu (9/4) menegaskan tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk memprioritaskan dan mengembangkan ristek. Mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho mengrkritik keras pembubaran tersebut. Penyandang gelar doktor di bidang Innovation and Social Change ini menegaskan bahwa tanpa riset, tak akan ada kemajuan. Yanuar menegaskan bahwa pembubaran Kemenristek menyebabkan tidak adanya lagi kementerian yang secara khusus memiliki fungsi menata kebijakan dan strategi ristek dan inovasi.
Yanuar menegaskan bahwa sama halnya dengan mimpi Indonesia Maju 2045, negara ini tidak mungkin menjadi pemimpin dunia jika perekonomiannya masih mengandalkan jual-beli komoditas dan relokasi industri alas kaki. Syarat mutlak menjadi bangsa maju adalah ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi, tegasnya.
Penulis mengalami sendiri prioritas ristek di era1980-an, di mana jurusan teknik, sains dan eksakta menjadi jurusan favorit. Meskipun demikian, rendahnya pendapatan dan kualitas riset domestik mendorong banyak ilmuwan kita mencari karier di luar negeri dan berpretasi di sana. Seyogyanya, ekosistem riset dan teknologi dibangun dari hulu sampai hilir yang meliputi:
1) Pendidikan STEM (Science, Technology Engineering Math) berkualitas di tingkat dasar, vokasi dan tinggi;
2) Industri yang mendukung, memakai dan menghargai sumberdaya ristek dalam negeri:
3) Kebijakan nasional yang memprioritaskan inistiaf dan inovasi domestik dengan fasilitasi dana dan regulasi yang memudahkan;
4) Promosi dan fasilitasi hasil ristek nasional secara total diplomasi ke ajang internasional melalui forum global dan pertukaran antar negara.
Hal ini akan lebih sulit untuk dijalankan jika Kementerian Ristek dibubarkan, sementara Badan Riset dan Inovasi Nasionak (BRIN) belum terlihat bentuk organisasinya secara jelas. Penanganan ristek yang sporadis dan sektoral akan menyulitkan langkah Indonesia secara bangsa untuk menguasai ilmu dan teknologi secara mendalam dan strategis.
Penguasaan teknologi sejatinya menjadi salah satu prioritas bangsa, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi inovasi dan teknologi negara lain, melainkan juga menjadi pemberi solusi dan pemecah masalah dari berbagai tantangan, termasuk perubahan iklim.
Stania Puspawardhani, analisis kebijakan dan Koordinator Asia Tenggara untuk Blockchain and Climate Institute. Opini adalah pribadi. Penulis dapat dihubungi di [email protected]