Teliti Iklim Masa Lampau guna Prediksi Pola Perubahan Iklim
26 Agustus 2022Dampak pemanasan global kian terasa hari demi hari di berbagai negara di dunia. Seperti misalnya kenaikan suhu permukaan, naiknya permukaan air laut, meningkatnya frekuensi badai, serta pola cuaca tidak teratur.
Para peniliti kerap mengatakan bahwa kegiatan umat manusia pada akhir abad ke-19 sebagai titik awal yang memengaruhi perubahan iklim. Namun, penelitian yang dipublikasikan oleh CarbonBrief.org pada tahun 2016 memaparkan studi titik awal perubahan iklim sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1830-an.
Negara tropis seperti Indonesia pun kini turut merasakan dampak pemanasan global. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat laju suhu permukaan di Indonesia semakin meningkat selama satu dekade terakhir.
Menurut catatan BMKG, Indonesia pernah mengalami beberapa kali tahun terpanas yaitu tahun 2016, 2019, dan 2020. Kenaikan suhu di Indonesia selama 10 tahun terakhir berkisar di angka 0,6 sampai 0,8 derajat Celsius.
Para peneliti iklim dunia pun berupaya memahami apa yang disebut paleoclimate untuk bisa lebih mengerti pola pemanasan global, termasuk fenomena iklim dalam skala tahunan.
Apa itu paleoclimate?
Paleoclimate adalah studi iklim yang menggunakan data-data yang tersimpan di alam seperti pada lingkaran pohon, sedimen laut, sedimen danau, dan karang. Objek penelitian tersebut menyimpan parameter iklim masa lampau hingga masa kini. Para peneliti iklim menggunakan parameter ini untuk merekonstruksi variabilitas dan tren perubahan iklim dan lingkungan dari masa ke masa.
Sri Yudawati Cahyarini, Ketua Riset Iklim dan Lingkungan Masa Lampau, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan data dari arsip alam baik dari darat dan lautan itu saling melengkapi. Karenanya, BRIN pun meneliti iklim masa lampau menggunakan karang batu dari genus Porites.
"Kita sudah banyak bukti meyakinkan bahwa hasil ekstraksi (data) suhu muka laut dari karang benar-benar bisa tersimpan dengan baik," kata Yudawati kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon. Dia juga menambahkan bahwa karang batu mudah ditemui di perairan negara-negara tropis seperti Indonesia.
Data parameter iklim masa lampau dan data model saat ini bisa digunakan untuk saling memverifikasi dan memvalidasi data iklim, sehingga prediksi perubahan iklim dapat lebih akurat, menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) di bawah pemerintah Amerika Serikat.
Data alam ribuan tahun
Menurut Yudawati, peneliti bisa merekonstruksi data permukaan laut dari karang yang sudah hidup 100.000 tahun lalu. "Dari data masa lampau kita bisa tahu tren kenaikan suhu," ungkap Yudawati yang sedang melakukan penelitian di Provinsi Bangka Belitung saat dihubungi DW Indonesia.
Dia bersama sejumlah peneliti dari Universitas Kiel di Jerman seperti Miriam Pfeiffer, Lars Reuning, Volker Liebetrau, dan beberapa peneliti lainnya dari Indonesia dan Jepang meneliti batu karang medieval yang hidup pada tahun 1100 masehi.
Studi ilmiah dari tim tersebut telah dipublikasikan di jurnal Scientific Reports pada Juli 2021 dengan judul 'Modern and sub-fossil corals suggest reduced temperature variability in the eastern pole of the Indian Ocean Dipole during the medieval climate anomaly'.
Yudawati menjelaskan bahwa dia dan timnya meneliti karang batu genus Porites dari berbagai wilayah perairan di Indonesia. Tim peneliti mengambil sampel dari karang yang ada di kedalaman dua sampai tiga meter dari permukaan air laut.
"Pertumbuhan karang satu sentimeter per tahun. (Kalau) kita punya karang (panjangnya) tiga meter berarti kita bisa mengekstraksi data 300 tahun ke belakang dari sekarang," ujarnya.
Dari karang tersebut, tim peneliti bisa mengekstraksi data dengan resolusi bulanan atau musiman. Kendati demikian, penelitian Yudawati belum bisa mengunduh data dari karang batu dengan skala harian.
"Penelitian ini mahal karena terutama di analisis biokimia dan unsur unsur lainnya," tutur perempuan kelahiran Ponorogo ini. Oleh karena itu, Yudawati kerap berkolaborasi dengan beberapa kampus di Jerman seperti, Universitas Humboldt Berlin, Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD), dan Univeristas Kiehl.
Harus bisa berenang di laut
Yudawati mengatakan bahwa kerang yang diteliti bisa diambil dari laut atau di daratan. Tidak hanya itu, tim peneliti juga bisa mengambil sample data iklim masa lampau dari karang yang sudah mati.
Terdengar menarik? Perempuan yang menamatkan pendidikan S3 di Universitas Kiel ini menuturkan bahwa siapa pun yang ingin jadi peneliti paleoclimate harus berani berenang di laut.
"Syukur-syukur bisa diving atau snorkeling," kata Yudawati sambil terkekeh bahwa dirinya dulu kerap diving atau menyelam.
Penelitian yang dikerjakan oleh Yudawati bisa tersebar di beberapa website riset seperti di NOAA atau Scientific Reports, namun penelitiannya lebih sering dikutip peneliti dari luar negeri dibandingkan oleh peneliti Indonesia.
"Di Indonesia mungkin belum punya banyak ahli di bidang paleoclimate," tambah Yudawati.
Dia meyakini di Indonesia sudah banyak orang yang percaya sedang terjadi proses perubahan iklim global. Malah, dia mempersilakan banyak orang untuk mengutip atau menggunakan studi iklim masa lampau miliknya sebagai bahan rujukan.
Yudawati lantas memberi tips bagi anak-anak muda Indonesia yang tertarik dengan bidang paleoclimate yang bersinggungan dengan ilmu geologi. "Harus menyukai dunia riset. Memahami biogenesis, geomorfologi, serta analisis biokimia pada karang," kata Yudawati. (ae)