Tidak Ada Kemajuan Dalam Krisis Rohingya
17 Agustus 2020Agustus 2017 Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), menyerang 30 pos polisi dan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebagai reaksi, operasi militer digelar untuk menumpas kelompok pemberontak yang memicu krisis kemanusiaan.
Lebih dari 700.000 warga etnis Rohingya melarikan diri dengan melintasi sungai Naf ke jiran Bangladesh. Mereka melaporkan tindak kekerasan brutal, pemerkosaan massal, dan pengrusakan sistematis terhadap desa serta pemukiman penduduk.
Menyusul tekanan internasional, Myanmar pada November 2017 akhirnya membuat kesepakatan repatriasi etnis Rohingya dengan pemerintah Bangladesh. Perjanjian ini merujuk pada Kesepakatan 1992 yang dibuat dengan perantara Badan Pengungsi Dunia (UNHCR). Di dalamnya Myanmar berkomitmen menampung kembali 100.000 pelarian Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh sejak 1959.
Namun pada perjanjian 2017, UNHCR tidak lagi terlibat. Usai ratifikasi, kantor komisaris tinggi UNHCR mengatakan pihaknya "tidak mengetahui butir-butir perjanjian," dan mendesak agar "kepulangan pengungsi dilakukan secara sukarela dan berperikemanusiaan."
Prioritas repatriasi
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah organisasi HAM seperti Amnesty International, Human Rights Watch atau Fortify Rights berulangkali mewanti-wanti betapa repatriasi pengungsi bukan pilihan. Wartawan Inggris, Francis Wade, yang membuat buku tentang Islamofobia di Myanmar pada 2017 lalu, mengatakan "gagasan repatriasi adalah hal keliru. Karena situasi di Myanmar masih sangat berbahaya buat warga Rohingya."
Namun Myanmar dan Bangladesh bersikukuh pada rencana pemulangan pengungsi Rohingya. Mahbub Alam Talukder, Komisaris urusan Pengungsi dan Repatriasi di pemerintahan di Dhaka mengatakan, bahwa "repatriasi tetap mendapat prioritas utama." Semua kebijakan akan diarahkan pada pemulangan "warga negara Myanmar."
Pemerintah Bangladesh yang sempat membuka pintu bagi pengungsi Rohingya kerepotan menyediakan lapangan kerja atau akomodasi yang layak bagi para pendatang baru. Situasi ini dipersulit oleh wabah corona yang melumpuhkan industri tekstil lokal. Sebabnya sebanyak 700.000 pengungsi itu lebih dilihat sebagai beban.
"Bangladesh sudah mengisyaratkan rasa frustasi dan tingkat kesabaran yang kian menipis," kata Wade kepada DW. Di kamp pengungsi di Cox's Bazar, warga tidak diizinkan membangun rumah permanen atau bergerak secara bebas. Kamp itu juga tidak memiliki sekolah untuk anak-anak.
"Semua kebijakan ini dibuat untuk memaksa warga Rohingya agar kembali ke Myanmar," imbuhnya.
Masalah kewarganegaraan
Soe Aung, Kepala Administrasi di Maungdaw yang terletak di dekat perbatasan Bangladesh, memastikan kepada DW bahwa pihaknya sedang mempersiapkan kepulangan pengungsi. Sejauh ini sudah lebih dari 10.000 penduduk Rakhine yang berhasil diidentifikasi oleh pemerintah Bangladesh.
Namun begitu, Myanmar bersikeras memeriksa status kewarganegaraan pengungsi sebelum dibiarkan masuk. Sejak lama pemerintah di Naypyidaw beranggapan, etnis Rohingya merupakan pendatang ilegal dari Bangladesh dan bukan warga negara Myanmar.
Pemeriksaan status kewarganegaraan pengungsi Rohingya oleh Myanmar dianggap bermasalah. Pasalnya hak kewarganegaraan di Myanmar mempersulit pengakuan terhadap warga etnis minoritas yang hidup di kawasan perbatasan.
Selain itu, warga Rohingya yang diakui dan diizinkan pulang ke Myanmar, juga terancam oleh gerilayawan ARSA. Soe Aung mengabarkan "para pengungsi ditekan oleh ARSA agar tidak pulang ke Myanmar."
Hal ini dibenarkan oleh Sometaya Ryuta, wartawan harian Jepang, Asahi Shimbun, yang melaporkan langsung dari kamp pengungsi. "Kepulangan Rohingya, terutama melalui jalur resmi, bergantung pada penerimaan terhadap kebijakan pemerintah Myanmar, yang bisa memperlemah pengaruh ARSA dalam perang melawan pemerintah.
rzn/ha