Timbang-menimbang Bantuan Negara untuk Maskapai Penerbangan
18 Mei 2021Buat Marc, seorang pilot muda yang bekerja di salah satu maskapai penerbangan nasional di Eropa, ada satu nuansa paling aneh yang ia rasakan selama menerbangkan pesawat di saat pandemi: sunyi, senyap.
"Sewaktu terbang di atas London misalnya, itu adalah salah satu ruang udara tersibuk di dunia," Marc bercerita kepada DW. "Dan kini Anda tidak lagi mendengar atau melihat pesawat lain di langit yang biasanya sungguh padat dengan pembicaraan antara maskapai dan suara lainnya. Tiba-tiba, radio menjadi sangat sunyi. Seram juga rasanya."
Meski demikian, bukan berarti Marc punya banyak waktu untuk menyerap segala keanehan itu. Sejak Maret 2020, ia rata-rata hanya terbang dua perjalanan pulang pergi setiap bulannya. Tidak hanya waktu kerjanya yang jadi ringkas, gajinya juga dipangkas.
Marc melihat banyak rekan-rekannya mengalami jam terbang lebih rendah serta mereka yang bekerja sebagai awak kabin mengalami kesulitan keuangan. Itulah sebabnya, Marc menyebut dirinya sebagai salah satu "yang beruntung."
Saat pandemi seperti ini, pengalaman terbang Marc berkisar dari menerbangkan pesawat dengan hanya membawa satu penumpang, hingga terbang mengangkut vaksin dan peralatan penting lainnya.
Terhadap pengalamannya saat menerbangkan satu penumpang dengan pesawat komersil, Marc mengatakan bahwa itu adalah hal "yang sungguh aneh; Anda seperti berpikir: 'Apa gunanya semua ini?'" Sementara saat mengangkut vaksin, Marc bersyukur bahwa ternyata ia masih berguna.
Marc bersedia berbagi kisahnya kepada DW dengan syarat bahwa maskapai penerbangannya tidak disebut. Menurutnya, kepastian akan adanya posisi di pekerjaannya "tidak terlalu bagus akhir-akhir ini." Seperti banyak orang di sektor penerbangan, Marc juga khawatir tentang dampak tahun 2020 bagi profesinya di masa depan.
Bantuan tidak terbagi rata
Dari menerbangkan vaksin atau peralatan medis ke seluruh dunia, hingga membantu penumpang melakukan perjalanan penting selama pandemi, peran penting maskapai penerbangan hampir tidak dapat diperdebatkan lagi. Karenanya, dukungan dana dari pemerintah terhadap sektor penerbangan menjadi rebutan yang serius.
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan pergolakan yang belum pernah terjadi sebelumnya di industri ini, dan maskapai penerbangan telah kehilangan pendapatan dengan besaran yang mencengangkan.
Trennya sangat kuat terjadi di Eropa. Pada masa awal krisis, Italia telah menasionalisasi Alitalia. Sementara bulan lalu, pemerintah Prancis menaikkan kepemilikannya di Air France-KLM menjadi 30%. Di Jerman, pemerintah menghabiskan 9 miliar euro atau sekitar 156 triliun rupiah untuk membeli 20% saham Lufthansa.
Namun bantuan tidak hanya dibutuhkan oleh maskapai yang membawa bendera nasional saja. Perusahaan penerbangan swasta di Eropa seperti Ryanair yang selama ini dikenal sebagai pengkritik utama dana talangan Eropa, juga telah menerima pembiayaan pandemi khusus dalam bentuk pinjaman sebesar 730 juta dolar dari pemerintah Inggris.
Menurut sistem pelacak bantuan untuk maskapai Eropa yang dijalankan oleh Greenpeace dan kelompok aktivis lingkungan Transport & Environment and Carbon Market Watch, pemerintah Eropa sejauh ini telah memberikan bantuan keuangan sebesar sekitar 30 miliar euro untuk menyelamatkan sektor ini.
Dari jumlah itu, hampir setengahnya dikucurkan untuk dua maskapai penerbangan: Lufthansa dan Air France-KLM, sementara maskapai nasional lain harus berbagi dana yang tersisa. Komisi Eropa memang memberikan lampu hijau untuk pendanaan tapi pastinya mereka juga punya persyaratan lain, seperti memaksa operator untuk menyerahkan slot berharga mereka di bandara.
Mari bicara soal emisi
Apa arti situasi dana talangan ini bagi masa depan penerbangan di Eropa? Ini jadi salah satu pertanyaan yang dibahas dengan sungguh-sungguh. Sejumlah analis berpendapat bahwa pada akhirnya, maskapai penerbangan yang selamat dari pandemi tanpa bantuan negara akan menjadi lebih efisien dan lebih kompetitif dalam jangka panjang.
Sementara analis lain berpandangan sebaliknya. "Bagi banyak maskapai penerbangan, tidak adanya dukungan pemerintah pada akhirnya bisa berarti bencana, terutama bagi maskapai besar," kata Shukor Yusof, pendiri konsultan penerbangan Endau Analytics, kepada Bloomberg. Maskapai Ryanair juga mengamini sentimen ini.
Namun dari kesemuanya itu, ada sisi lain yang berkaitan dengan lingkungan dan kebutuhan pemerintah Uni Eropa untuk mengurangi emisi karbon yang juga perlu dibicarakan. Sedangkan sektor penerbangan diketahui sebagai salah satu kontributor emisi terbesar.
Greenpeace telah meluncurkan alat pelacaknya untuk menyoroti sejauh mana pemerintah menalangi maskapai penerbangan tanpa adanya prasyarat yang harus dipenuhi yang bersifat menguntungkan lingkungan.
"Menggelontorkan duit pembayar pajak ke industri yang (bersifat) sangat mencemari, tanpa adanya persyaratan bagi lingkungan adalah sama sekali tidak masuk akal," kata penasihat kebijakan transportasi Greenpeace, Lorelei Limousin, kepada DW. Jadi menurut dia, "kembali ke normal bukanlah pilihan."
ae/gtp