1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Todung: Kemenangan Time, Kemenangan Kebebasan Pers di Indonesia

17 April 2009

Setelah sepuluh tahun, sengketa pemberitaan antara majalah Time dengan keluarga Cendana berakhir dengan kemenangan majalah Time.

https://p.dw.com/p/HZ6b
Mantan presiden SuhartoFoto: AP

Keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan Time, membalikkan putusan di tingkat kasasi lembaga tertinggi peradilan ini sebelumnya. Ketika itu Mahkamah Agung menyatakan Time terbukti melakukan fitnah terhadap bekas presiden Soeharto. MA juga menghukum, ganti rugi sebesar 1 trilyun rupiah dan keharusan memasang iklan permintaan maaf di berbagai media Indonesia, serta di tiga edisi internasional majalah Time.

Pemberitan yang dimaksud adalah laporan di majalah Time bulan Mei 1999 yang menyebut bahwa Soeharto menyimpan kekayaan sekitar 15 milyar dolar AS di berbagai rekening di luar negeri. Majalah Time menurunkan laporan itu berdasarkan penyelidikan 11 reporternya di 11 negara. Kuasa Hukum Majalah Time, Todung Mulya Lubis menyebut kemenangan kliennya ini, sebagai kemenangan atas kebebasan pers.

"Dikabulkanya permohonan PK Majalah Time, tentu menggembirakan. Dan bisa disebut sebagai angin segar bagi kehidupan pers di Indonesia. Karena putusan ini tidak berarti semata mata kemenangan majalah Time tapi juga kemenangan bagi kebebasan pers dan freedom of speech di Indonesia"

Lebih jauh Todung Mulya Lubis berharap, kemenangan yang diupayakan dengan jalan panjang ini, juga akan berdampak besar bagi masa depan pers di Indonesia.

"Perjuangan sepuluh tahun yang dilakukan oleh majalah Time, untuk meyakinkan pengadilan, bahwa pemberitaan untuk kepntingan umum, tidak boleh dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tidak boleh dianggap sebagai pencemaran nama baik, itu pada akhirnya berhasil. Nah kami berharap putusan MA ini bisa menjadi yurisprudensi bagi kasus kasus pers di masa depan. Kami juga berharap putusan ini juga bisa menjadi rujukan bagi hakim hakim dalam memutus kasus kasus yang menyangkut pers dimasa depan"

Sebaliknya, kuasa hukum keluarga cendana, Muhammad Assegaf, menunjukkan hal lain:

"Dengan putusan ini, kita tidak bisa lagi mengetahui batasan batasan kebebasan pers itu dimana. Karena berita itu betul betul tidak benar bersifat fitnah. Kita minta dibuktikan, Time tidak bisa membuktikan. Nah sekarang oleh MA time nampaknya dianggap perbuatan tidak melawan itu. Sehingga dengan adanya putusan MA itu Saya khawatir sekali bahawa pers telah menggunakan kebebasannya untuk menurunkan berita berita yang tidak benar. Ini yang dikawatirkan kebebasan pers itu batas batasnya dimana. Ini akan menimbulkan persoalan nanti"

Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, menepis kekhawatiran pengacara keluarga Cendana itu. Ia menunjuk Undang-undang Pers no 40 tahun 99 sebagai instrumen untuk menyelesaikan sengekata pemberitaan. Ichlasul Amal juga memuji sikap Mahkamah Agung saat ini, yang disebutnya sudah lebih bersahabat dengan dunia pers:

"Terakhir ini kan, Mahkamah Agung dibawa ketua yang baru kan sudah membuat surat edaran kepada pengadilan pengadilan, jadi kalau menghadapi kasus Pers, itu diminta supaya menjadi saksi ahlinya itu dari Dewan Pers atau dari siapa saja yang mengerti tentang persoalan Pers itu. Jadi hakim itu, jangan memutuskan semata mata, dari hukum, misalnya kalau itu pencemaran nama baik lalu dari KUHP gitu, mestinya kita harapakan itu nanti mengunakan Undang -undang no 40 itu."

Laporan tentang kekayaan keluarga Cendana itu, diterbitkan setahun setelah Suharto dipaksa mundur dari jabatannya menyusul serangkaian protes dari masyarakat. Transparansi Internasional dan Bank Dunia menempatkan bekas penguasa Orde Baru itu dalam daftar teratas pemimpin dunia yang menjarah kekayaan negara bersama sejumlah diktator dunia lainnya. Tetapi, prakarsa pengembalian harta negara dari para pemimpin dunia yang diluncurkan Bank Dunia dan PBB sejak dua tahun lalu itu, sejauh ini belum menunjukan hasilnya.

Zaki Amrullah

Editor : Ayu Purwaningsih