Tuntutan Ganti Rugi Terhadap Pfizer di Nigeria
26 Juni 2007Saat itu 11 anak meninggal, sampai sekarang banyak yang lumpuh dan tuli. Jean-Hervé Bradol dari Organisasi Dokter tanpa Perbatasan dahulu bekerja di Nigeria di rumah sakit yang sama dengan tim Pfizer. Bradol
„Rumah sakit di Kano tersebut dipenuhi oleh para pasien yang berada dalam kondisi sangat buruk. Banyak tempat tidur sampai harus diletakkan di gang-gang. Dan sebagian dari rumah sakit ini dipakai oleh Tim Pfizer yang melakukan beberapa percobaan. Dan kami pikir Pfizer sedang melakukan serangkaian tes klinis, semuanya berjalan tenang dan normal.“
Saat itu Pfizer mengadakan tes antibiotik bernama Trovan. Ini merupakan sebuah obat yang dipakai tidak hanya untuk melawan Meningitis atau radang selaput otak. Kembali komentar Bradol
„Tiba-tiba pecah dua epidemi, Kolera dan Meningitis. Ini merupakan situasi darurat di rumah sakit. Dan bukannya bekerjasama dengan tim gawat darurat lainnya di rumah sakit, Pfizer tetap menjalankan percobaannya, bahkan bidangnya diperluas ke Meningitis.“
Pfizer memakai 200 orang sebagai pasien percobaan, kebanyakan anak-anak. Manager Pfizer Yannick Pletan menegaskan, bahwa semua orang tua telah memberikan persetujuannya. Ada dua kelompok percobaan. Satu kelompok diberikan dua macam obat, satu obat Meningitis dan yang kedua merupakan sebuah antobiotik bernama Trovan. Kasus kematian pasien-pasien ini tidak ada hubungannya dengan obat yang diberikan, demikan menejer Pfizer Yannick Pletan.
„Mereka mendapatkan obat Meningitis dan kami melihat tingkat kesuksesan yang tinggi, 95% hasilnya memuaskan. Dan dengan pemakaian obat Trovan kami mempunyai tingkat kesuksesan 94%. Jadi dapat dikatakan, bahwa pemberian kedua obat tersebut memberikan hasil yang dapat dibandingkan dengan efek obat-obatan lain.“
Dalam epidemi semacam itu, dipakai obat-obatan yang sudah dikenal dan lulus uji coba, demikian dikatakan Jean-Hervé Bradol dari organisasi Dokter tanpa Perbatasan. Tetapi tidak ada satu pun obat-obatan yang diloloskan oleh organisasi kesehatan dunia yang berasal dari perusahaan Pfizer, lanjut Bradol. Sebaliknya Yannick Pletan mengatakan, bahwa penyakit anak-anak yang ikut serta dalam percobaan tersebut sudah sangat parah, dan tidak heran jika mereka mengalami komplikasi. Menjadi tuli dan lumpuh memang akibat normal dari radang selaput otak tersebut.
Menurut pemerintah Nigeria, mereka tidak memberikan ijin dan kemungkinan ada ijin yang dipalsukan dari komisi etik rumah sakit tersebut. Secara umum di negara-negara Afrika sendiri masih kurang undang-undang yang mendasar untuk melindungi orang dari percobaan-percobaan yang secara etis mempunyai banyak hambatan. Apakah Pfizer menyalahgunakan para pasien di Afrika sebagai kelinci percobaan? Banyak LSM yang memperingatkan, bahwa perusahaan-perusahaan seperti Pfizer memang pergi ke Afrika karena mereka takut mendapatkan tuntutan ganti rugi di Amerika Serikat.