Uniknya Jerman di Mata Saya
15 Mei 2021Sudah lebih dari tiga tahun saya tinggal di negeri Frau Merkel. Bukan waktu yang singkat, meski juga tidak dapat dikatakan lama. Selama itu pula, saya selalu mendapatkan pengalaman baru, meskipun terkadang, pengalaman itu jauh dari ekspektasi saya. Berikut ini adalah hal–hal menarik tentang Jerman versi saya:
1. Roti, roti, dan roti..
Kalau di Indonesia masyarakatnya gemar memakan nasi, maka disini kebalikannya : Roti. Pagi, siang, malam roti. „Brot ist lecker" kata mereka. Tak heran di Jerman, roti begitu mudah didapatkan dan jenisnya pun beraneka ragam (Weizenbrot, Roggenbrot, Vollkornbrot, dll). Jangan khawatir bila kamu harus berpergian di pagi hari, tanpa sempat sarapan di rumah, karena kamu pasti menemukan toko roti di perjalanan (di jalan, di bandara, atau di stasiun kereta).
Buat saya yang berperut nasi dan lidah Indonesianya kental, memakan roti dengan Käse (keju), Schinken (ham) atau Marmalade (selai) terus menerus ternyata bisa membuat hati sedih juga. Teringat suatu hari, saya diundang seminar di sebuah hotel luxus di kawasan Frankfurt. Ekspektasi saya : Akan ada hidangan international tersedia bagi peserta. Lagi–lagi saya terkecoh! Yo wes nasib. Hari ini juga roti lagi, hahaha.
2. Bahasa Jerman yang sempat membuat saya putus asa
Belajar bahasa asing dari nol tentu saja tidak mudah. Terlebih lagi, apabila tata bahasa serta pengucapan (gramatik dan fonetik) berbeda jauh dengan bahasa ibu kita. Saya pernah mengalami masa–masa sulit tersebut, dimana hampir setiap hari saya dikritik guru bahasa saya, karena Aussprache saya yang amburadul. Misalnya dalam hal pengucapan huruf Z. Pengucapan Z saya dianggap tidak tepat, karena seperti Z dalam bahasa Indonesia, bukan ts – pengucapan yang benar dalam bahasa Jerman. Begitu juga huruf W, Sch dan umlaut yang dianggap kurang bule. "Duh Gusti, kumaha atuh" batin saya dalam hati.
Tersiksa dengan kritikan–kritikan tajam plus sempat tidak lulus ujian bahasa dikarenakan masalah Aussprache, saya sempat berpikir untuk kembali ke tanah air. Untungnya masa–masa sulit berlalu lebih cepat daripada yang kita pikirkan. Dengan support keluarga, teman dan memperbanyak latihan, akhirnya bahasa Jerman saya bertambah baik setiap hari.
3. Berburu baju ABG
Mencari pakaian yang sesuai untuk saya yang bertubuh mungil, bukanlah perkara mudah. Beberapa kali pakaian yang saya beli tidak pas, karena kepanjangan atau terlalu besar. Begitu pula dengan sepatu, karena kaki saya yang terbilang kecil. Akibatnya saya seringkali terpaksa membeli pakaian ABG yang pas di badan. Keuntungannya: harga lebih ekonomis dibandingkan dengan pakaian dewasa.
4. Hari Minggu, toko tutup
Di Indonesia, saya terbiasa berbelanja di hari Minggu sekalian jalan–jalan bersama keluarga. Awal–awal saya tiba disini, saya tidak langsung terbiasa dengan fenomena toko tutup pada hari Minggu, meskipun saya sudah diinformasikan sebelumnya. Saya pernah lupa belanja di hari Sabtu, namun (untungnya) saya masih punya persediaan roti dan telur untuk dikonsumsi. Selamat deh, tidak jadi puasanya.
5. Perpustakaan ada di setiap kota
Perlu diakui, ini kerennya Jerman. Perpustakaan ada di setiap kota, bahkan di kota–kota kecil sekalipun. Untuk menjadi anggota pun, kita hanya dikenakan biaya yang sangat murah. Contohnya di kota saya, biaya anggota bagi orang dewasa selama dua tahun adalah 10 Euro. Selama itu pula anggota dapat meminjam buku, dvd, bahkan e-books. Sekedar informasi, harga rata–rata satu buku di Jerman itu 10 Euro. Menyenangkannya lagi, koleksi buku yang ada juga relatif up to date. Berkat adanya perpustakaan, saya tidak perlu repot membawa buku dalam jumlah banyak saat pindah. Sangat menguntungkan, terutama di saat saya baru tinggal di Jerman dan masih nomaden.
6. Tiada kota tanpa museum
Sama seperti perpustakaan, disinipun berlaku tiada kota tanpa museum. Di kota–kota besar, museumnya bisa lebih dari satu. Uniknya meskipun hampir seluruh pusat perbelanjaan tutup pada hari Minggu, museum tetap buka melayani pengunjung (bahkan buka lebih awal). Museum di Jerman tutup setiap hari Senin. Kontras dengan kondisi museum di Indonesia, museum di Jerman rata–rata ramai oleh pengunjung, dari lansia hingga balita. Pemandangan menarik bagi saya adalah menyaksikan orang tua sangat antusias membawa anak–anaknya berkunjung ke museum. Mereka dengan sabar menjelaskan kepada si anak tentang koleksi museum.
7. Schwazwӓlder Freilichtmussen Vogtsbauenhof
Masih berkaitan dengan museum. Museum seluas 17 hektar yang berlokasi di Gutach (Baden Württemberg) ini tidak seperti museum pada umumnya. Museum favorit saya ini berada di tempat terbuka dan menampilkan nuansa pedesaan jaman pertengahan. Pengunjung dapat melihat rumah–rumah tradisional (rumah tertua di museum ini berusia 600 tahun) , tempat penggilingan, tempat penggergajian kayu dan workshops. Para staff di museum ini mengenakan pakaian tradisional khas black forest lengkap dengan topi Bollenhutnya. Pengunjung juga dapat mencicipi hidangan khas black forest di restauran sekaligus menikmati suasana alam sekitar yang asri.
8. Masyarakat Jerman cinta lingkungan
Bagi masyarakat Jerman, tema–tema seperti Umweltschutz (perlindungan lingkungan hidup) maupun Umweltfreundlich (ramah lingkungan) merupakan tema besar, yang bukan hanya ada di dunia literasi atau sekadar teori, namun sudah menjadi kesadaran sebagian besar masyarakat Jerman. Itulah sebabnya, produk–produk ramah lingkungan, seperti bio Produkte digemari masyarakat, meskipun harganya tidak murah. Pun demikian dengan toko–toko yang menjual produk tanpa kemasan (unverpackt-Laden). Di toko ini, semua produk baik padat maupun cair dijual tanpa kemasan. Konsumen harus membawa sendiri kontainer dari rumah atau membeli wadah kaca di tempat.
Awalnya saya sangat pemisimis dengan kehadiran toko semacam itu. Saya berpikir konsumen tidak akan mau repot–repot membawa segala macam kontainer bila toko sebelah menjual produk yang sama lengkap dengan kontainernya. Namun perkiraan saya meleset. Toko–toko semacam ini masih beroperasi sampai sekarang. Bukti kuatnya cinta orang Jerman terhadap lingkungan. Jadi jangan coba–coba bersikap tidak ramah lingkungan, seperti menyalakan lampu disaat kamu tidak di rumah atau buang sampah sembarangan kalau tidak mau mendapat reaksi antipati dari masyarakat sekitar.
9. ATM daur ulang di setiap retail swalayan
Bila kamu berkunjung ke Jerman, kamu pasti familiar dengan orang membawa botol kosong saat ke toko swalayan. Ini dikarenakan pemerintah Jerman menerapkan aturan "botol berbayar” untuk menekan sampah plastik, kaleng maupun kaca melalui program daur ulang. Setiap kita membeli minuman kemasan, kita diwajibkan membayar biaya botol (untuk botol plastik harganya 25 sen Euro). Botol ini dapat "di-refund” bila kita mengembalikan botol tersebut ke atm botol di mana saja.
10. Indahnya alam Jerman
Deutschland ist echt ein schönes Land, Jerman benar-benar adalah negara yang indah. Meskipun mendapat predikat negara maju, Jerman sangat concern dengan kelestarian alamnya. Saya bahkan masih bisa menemukan tupai berkeliaran di pinggir jalan atau bebek berenang di sungai – sungai. Sungai, danau maupun Bӓchle (parit) nya juga bersih dan hanya memiliki sedikit sampah (Paling banyak sampah daun, saat musim gugur tiba). Beberapa danau yang pernah saya kunjungi seperti Feldsee dan Niederrimsinger Baggersee memiliki pemandangan yang mengagumkan.
11. Jerman, negara dengan dua jenis pajak pertambahan nilai
Bila di Indonesia dikenal PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10%, lain halnya di Jerman yang memiliki dua nilai Mehrwertsteuer (Mwst) 7% dan 19%. Mengenai kriteria suatu objek pajak dikenakan pajak 7% atau 19%, saya tidak mengetahuinya dengan pasti. Yang jelas pajak 7% diberlakukan untuk bahan makanan yang merupakan kebutuhan pokok seperti daging dan susu.
12. Bier, bitte...
Guru bahasa saya yang merupakan penduduk asli Jerman pernah bercerita bahwa masyarakat setempat begitu menggemari bir, hingga mengkonsumsi bir layaknya air. Hal tersebut bukan mitos semata, karena saya sering menjumpai orang membeli bir dalam jumlah banyak ketika berbelanja di toko swalayan.
Bir sendiri merupakan bagian dari tradisi budaya Jerman yang dirayakan setiap bulan Oktober (Oktoberfest). Saat Oktoberfest tiba, masyarakat Jerman mengenakan pakaian tradisonal berkumpul dan menikmati bir dalam gelas besar. Prost!
13. Orang Jerman cenderung introvet, to the point dan tidak terlalu suka berbasa basi
Email yang singkat dan padat akan sering ditemui dalam kehidupan sehari – hari. Orang Jerman memang tidak terlalu suka berbasa basi karena dianggap menghabiskan waktu. Berbeda dengan kultur orang Indonesia yang gemar berbasa basi, orang Jerman tidak terlalu suka membuka pembicaraan dengan orang asing yang tidak dikenal.
Bagaimana dengan meminta nomor telepon seorang kenalan Jerman? Saran saya, sebaiknya dilakukan bila telah cukup akrab. Orang Jerman biasanya kurang kerasan memberikan nomor telepon pribadi kepada orang yang tidak terlalu akrab.
14. Jerman tepat waktu kecuali keretanya
Untuk masalah yang satu ini, jujur saya kecewa karena ekspektasi saya yang tinggi. Jerman dikenal sebagai negara yang tepat waktu, namun tidak dengan keretanya. Kereta cepat ICE (Intercity Express) boleh dikatakan sering terlambat, kadang–kadang keterlambatan lebih dari satu jam. Tak jarang perjalanan menjadi melelahkan karena harus menunggu dalam waktu lama atau sebaliknya harus berlari mengejar kereta berikutnya yang hampir berangkat.
*Elsa Anugerah adalah dokter dalam pendidikan / dokter asisten untuk penyakit dalam di Hessen
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)