Instrumentalisasi Teror Radikal Islamis
19 Januari 2015Setelah serangan pembunuhan terhadap redaksi Charlie Hebdo di Paris, razia besar-besaran di Belgia yang menggagalkannya rencana serangan teror serta aksi penangkapan di Jerman, kelompok anti-Islam dan anti politik imigrasi berusaha menginstrumentasi isu Islam untuk kepentingan mereka. Langkah kanselir Jerman yang pasang badan melindungi umat Islam di Jerman dipuji dalam tajuk sejumlah harian internasional.
Harian Spanyol El Pais yang terbit di Madrid berkomentar : Kanselir Jerman Angela Merkel harus dipuji, karena melontarkan kata tegas kepada gerakan anti-Islam yang menuduh semua umat Muslim sebagai pemicu berbagai masalah itu. Merkel menegaskan, kebenaran yang sepotong-sepotong tidak sepadan untuk membela demokrasi di Eropa. Jerman adalah negara demokrasi paling maju di Eropa dan jadi panutan dalam tema integrasi. Tidak ada krisis apapun yang bisa membuat Jerman melangkah mundur, seperti yang diprovokasikan oleh Pegida. Perang legitim melawan jihadisme tidak boleh disalahgunakan oleh kelompok inisiatif radikal yang menentang nilai-nilai Eropa semacam itu.
Harian Inggris Guardian yang terbit di London juga menulis komentar kritis dalam tajuknya. Aksi kebencian khususnya terhadap Islam serta kepada imigran secara keseluruhan bukan hanya monopoli Pegida di Jerman. Sejak serangan pembunuhan terhadap Charlie Hebdo dan digagalkannya rencana serangan teror di Belgia partai-partai ekstrim kanan anti Islam dan anti imigran di Eropa berusaha meraih pemilih dengan merekayasa reakitas. Kini muncul ancaman bahaya nyata, munculnya spiral kemunduran demokrasi, yang dipucu kelompok minoritas radikal Muslim dan non Muslim, yang menarik mayoritas warga Muslim dan non-Muslim ke arah yang salah. Hal itu hanya dapat dihindarkan dengan upaya tak kenal lelah yang digalang secara sadar setiap hari oleh semua warga.
Harian Jerman Tageszeitung yang terbit di Berlin berkomentar: Pembatalan aksi demonstrasi Pegida bukan berarti berakhirnya gerakan yang ganjil ini. Lebih jauh lagi, pelarangan akan dimanipulasi oleh penggerak Pegida yang menjadikan mereka sebagai korban dan syuhada dalam perjuangan membela kebebasan berekspresi. Pegida bisa memelintir realita, dengan memposisikan gerakannya sebagai korban, yang dipaksa oleh teroris Islamis, untuk melepaskan hak menggelar aksi demonstrasi secara bebas. Apakah pelarangan itu legitim, tidak ada yang berani mengomentari. Yang jelas, pihak yang mengeluarkan larangan menerima informasi konkrit, yang menyebutkan ancaman teror itu konkrit.
Harian Latvia Diena yeng terbit di Riga dalam komentarnya menyoroti ketakutan warga Muslim Eropa menghadapi stigmatisasi pasca serangan teror Perancis dan rencana teror yang digagalkan di Belgia. Umat Muslim di Eropa mencemaskan reaksi negatif publik yang akan semakin anti Islam secara pukul rata terkait peristiwa tersebut. Pimpinan negara di Jerman dan Perancis telah berusaha berbicara dengan warga di negaranya, untuk menyerukan toleransi dan mengutuk aksi segelintir ekstrimis di dalam masyarakat. Akan tetapi, kepala berita di media yang menyiratkan ancaman bahaya radikal Islamis, serta upaya sangat aktif politisi ekstrim kanan untuk menyalahgunakan peristiwa bagi keuntungan kelompoknya, justru mengobarkan kebencian terhadap kaum Muslim dalam kehidupan sehari-hari.
as/vlz(dpa,afp)