Limbah Plastik Dunia Serbu Asia Tenggara
9 Mei 2019Saban malam desa Jenjarom di dekat Kuala Lumpur, Malaysia, diliputi udara berbau tajam yang berasal dari pabrik pelumeran limbah plastik yang berada tidak jauh. "Bau sekali. Dan asapnya merusak paru-paru kami," kata Lay Peng, seorang penduduk desa. "Yang paling parah adalah tidak seorangpun bisa melarikan diri dari asap beracun ini."
Menurut perempuan berusia 47 tahun tersebut ratusan ton limbah plastik dibakar secara ilegal hanya satu kilometer dari rumahnya. Ketiga anaknya, klaim Lay, kini menderita asthma, sementara sang suami mengidap penyakit kanker paru-paru. Padahal hingga dua tahun silam, udara di desa masih bersih dari asap beracun tersebut.
Tanpa disadari warga, desa Jenjarom terseret ke pusat episentrum krisis limbah global. Sejak Cina mengumumkan akan mengurangi impor limbah plastik dan kertas pada 2017 silam, sejumlah negara sibuk mencari lokasi baru untuk membuang limbah yang kian menumpuk. Limbah-limbah itu terutama berasal dari negara makmur, seperti Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan.
"Keputusan itu mengejutkan industri daur ulang global," kata Arnaud Brunet dari Biro Daur Ulang Internasional (BIR) di Brussels, Belgia. Selama ini Cina mengimpor 56% lombah plastik dan kertas. Namun demi "melindungi" kesehatan warga, pemerintah di Beijing mengambil langkah drastis dengan menutup keran impor.
Akibatnya hanya dalam beberapa bulan setelah Cina mengumumkan keputusan tersebut, impor limbah plastik Malaysia meningkat tiga kali lipat.
Jiran di utara itu bukan satu-satunya negara yang kelimpahan limbah plastik negara maju, India, Thailand, Vietnam dan Indonesia juga dibidik sebagai negara tujuan ekspor baru.
Baca juga: Rendy Aditya: Kami Ingin Ciptakan Zero Waste High Performance Habitat di Tahun 2022
Semua negara memiliki satu kesamaan, yakni aturan impor limbah yang longgar dan program pengolahan limbah setengah hati. Menurut laporan Bank Dunia 2018 silam, lebih dari 90% limbah di negara berkembang dan miskin "dibuang secara ilegal atau dibakar sehingga menimbulkan konsekuensi serius terhadap kesehatan, keamanan dan lingkungan."
Namun situasi mulai berubah di sejumlah negara, terutama Thailand, Malaysia dan Indonesia. Tahun lalu dua negara jiran itu menerbitkan aturan impor limbah yang lebih ketat untuk menghalau serbuan sampah plastik dari Eropa dan Amerika Serikat.
Indonesia sebaliknya tetap berpegang pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Tata Cara Importasi Limbah Non B3.
Kedua produk perundangan tersebut diyakini cukup mampu "meminimalisir kemungkinan kerusakan lingkungan dan ekosistem akibat pencemaran limbah," tulis Kedutaan Besar Indonesia di Brussels, Belgia, kepada DW.
Meski demikian pemerintah mengakui serbuan limbah dari luar negeri sebagai "tantangan" yang tidak mudah diatasi.
Pasalnya meski adanya pembatasan impor, "limbah plastik campuran masih diimpor secara ilegal. Penyelundupan sampah marak dan pemerintah kewalahan mengawasinya," tutur Heng Kiah Chun dari Greenpeace Asia.
April silam lembaga lingkungan Australia, Ecological Observations and Wetlands Conservation (Ecoton), menerbitkan laporan yang mengungkap praktik penyelundupan sampah plastik asal Australia ke Indonesia. Limbah itu dimasukkan ke dalam kontainer berisi kertas bekas yang diimpor untuk kebutuhan industri.
Baca juga: Greenpeace: Penegakan Hukum di Bidang Lingkungan Hidup Sulit Karena Keterlibatan Elite
Menurut Ecoton, impor kertas bekas dari Australia mencapai 52 ribu ton, sekitar 30% di antaranya berupa sampah plastik. Sampah itu kemudian dibuang secara ilegal dan mencemari kawasan Kali Brantas, Jawa Timur.
Cina sebaliknya kini membidik komoditas plastik yang sudah didaur ulang dari negara lain. Sebab itu pula semakin banyak perusahaan Cina yang membangun pabrik daur ulang plastik di Asia Tenggara, lantaran berharap bisa mengeruk untung dari larangan impor. Sejak akhir 2017, pabrik daur ulang "tumbuh bak jamur" di sejumlah negara seperti Malaysia, kebanyakan dijalankan oleh investor Cina.
"Warga di sekitar desa, tetangga saya dan saya sendiri menghitung sudah ada 40 pabrik daur ulang plastik," kata Lay Peng, penduduk desa Jenjarom. Dan asap beracun yang dulu menyesaki udara Cina kini berpindah ke sejumlah kawasan di Asia Tenggara, seperti di Jenjarom.
rzn/ap