Prancis Wajibkan Pengelola Media Sosial Hapus Konten Ilegal
14 Mei 2020Undang-undang yang diloloskan Majelis Nasional Prancis hari Rabu (13/05) mewajibkan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, dan Snapchat menghapus konten terkait terorisme dan pedofilia dalam rentang satu jam setelah mendapat peringatan dari pihak berwenang.
Jika perusahaan gagal mematuhinya, mereka bisa dikenakan denda sampai sampai 4 persen dari pendapatan globalnya.
Untuk konten-konten lain yang ”nyata-nyata ilegal" - sepertiujaran kebencian, komentar rasis atau bernada kefanatikan agama- mereka diharuskan untuk menghapusnya dalam waktu 24 jam setelah dilaporkan oleh para pengguna. Jika tidak, pengelola bisa dikenakan denda sampai 1,25 juta Euro atau setara 20,2 miliar Rupiah.
Pengguna harus ”berpikir dua kali"
UU ini dimaksudkan untuk "mendorong tanggung jawab" dari pengelola platform online, yang sering berpendapat "bahwa instrumen yang mereka buat tidak bisa dikendalikan," kata Menteri Kehakiman Nicole Belloubet di hadapan anggota parlemen hari Rabu.
UU baru ini juga menetapkan penempatan jaksa yang khusus menangani konten digital dan pembentukan unit pemerintahan yang bertugas mengawasi ujaran kebencian di platorm online.
"Orang-orang akan berpikir dua kali sebelum melewati garis merah, jika mereka tahu bahwa ada kemungkinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban," kata Nicole Belloubet.
Ancaman bagi kebebasan berpendapat?
Beberapa kalangan mengeritik UU yang baru, yang diusulkan satu tahun lalu oleh partai Presiden Emmanuel macron, LERM. Sebelumnya, Komisi Konsultasi Nasional Hak Asasi Manusia Prancis sudah mengeritik rancangan undan- undang (RUU) yang diajukan karena bisa meningkatkan risiko penyensoran.
Kelompok kebebasan sipil La Quadrature du Net (LQDN) mengatakan, sangat tidak realistis untuk berpikir bahwa konten ilegal dapat dihapus dalam waktu satu jam.
"Waktu penghapusan yang pendek dan denda besar bisa mendorong platform online menghapus konten secara berlebihan," kata LQDN sebelum debat parlemen hari Rabu. Kondisi ini bisa "membatasi suara-suara dari kalangan yang selama ini kurang terwakili.”
Pemimpin populis ultra kanan Marine Le Pen mengatakan, UU baru itu merupakan ”pelanggaran serius terhadap kebebasan berekspresi". Sebelumnya, Senat Prancis yang dikontrol kubu oposisi mengusulkan agar denda yang tinggi dihapus, tetapi saran mereka sekarang ditolak oleh Majelis Nasional.
hp/rap (afp, dpa, rtr)