Walhi: Ketiadaan Data Perburuk Polusi di Indonesia
2 Mei 2018Seberapa parah polusi udara di Indonesia? Terkait masalah ini, studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang polusi udara di seluruh dunia yang baru dirilis pun tidak mampu memberikan jawaban tegas. Badan dunia itu hanya mencatat kualitas polusi udara di Indonesia secara umum sedikit membaik ketimbang beberapa tahun silam.
Namun Pakar Perkotaan dan Energi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung mengatakan, data perbaikan kualitas udara di Indonesia tidak mencerminkan realita sesungguhnya. Menurutnya fenomena itu muncul "bukan karena sumber polutannya berkurang, melainkan karena faktor iklim dan cuaca," tuturnya kepada DW.
Persulit Mitigasi
Ketiadaan data yang akurat mempersulit upaya mitigasi dampak polusi udara. Saat ini pemerintah memiliki sekitar 50 stasiun pemantau kualitas udara yang semuanya berbasis pada paremeter PM10. Empat stasiun pemantau yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menggunakan paremeter serupa.
PM10 hanya mencatat volume konsentrasi partikel berukuran lebih kecil dari 10 mikrometer, antara lain debu halus atau serbuk sari. "Yang dipahami masyarakat adalah konsentrasi jenis polutan yang tingkat toleransinya pada tubuh lebih tinggi," kata Dwi. Sementara partikel halus berukuran PM2.5 yang biasanya dihasilkan dari gas buang kendaraan bermotor atau pembangkit listrik dan sangat berbahaya bagi tubuh justru kurang diperhatikan.
Baca: WHO: 7 Juta Orang Tewas Tiap Tahun Karena Polusi Udara
Awal 2017 silam organisasi lingkungan Greenpeace meluncurkan aplikasi UdaraKita untuk memantau polusi udara berbasis parameter PM2.5 di Indonesia. Meski demikian, data yang tersedia hanya berasal dari dua lokasi, yakni Jakarta dan Bali. Sementara data polusi untuk kota-kota besar lainnya tidak bisa direkam lantaran minimnya stasiun pengukuran.
Revisi baku mutu emisi
Dalam laporannya WHO menulis angka kematian tertinggi akibat polusi udara tercatat di Asia Selatan dan Tenggara dengan angka 2,4 juta kasus sepanjang 2017. Di Indonesia sendiri angka kematian per tahun melebihi 60.000 kasus.
Sebab itu Walhi saat ini sedang memperjuangkan revisi Baku Mutu Emisi (BME) yang saat ini masih menggunakan ketetapan tahun 1999. "Harusnya setiap lima tahun BME direvisi untuk mengadopsi perkembangan sains," tutur Dwi Sawung. Menurut dia ada banyak temuan partikel berbahaya baru yang belum masuk dalam BME.
Dalam siaran persnya awal tahun 2018, Walhi mengatakan rancangan revisi Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Batu Bara yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam tidak layak untuk masyarakat. "Kami menilai ESDM lebih memilih untuk melindungi pihak pengusaha pembangkit listri, dan mengabaikan keselamatan dan kesehatan masyarakat,” tutur Dwi lebih lanjut.
rzn/as