Waspada Produk Usaha dan Investasi Berkedok Syariah
20 November 2019Minggu lalu, masyarakat seputaran Bogor, Jawa Barat, sempat dihebohkan dengan penipuan investasi ilegal bernama Kampung Kurma.
Kampung Kurma menawarkan skema investasi penanaman lahan pohon kurma dengan skema 1 unit lahan seluas 400 hingga 500 meter persegi yang rencananya akan ditanami 5 pohon kurma. Satu unit ini kemudian diklaim akan menghasilkan Rp 175 juta per tahun. Pohon kurma pun dijanjikan mulai berbuah pada usia 4-10 tahun dan akan terus berbuah hingga usia pohon 90-100 tahun.
Banyak orang tergiur dengan skema ini, salah satunya bernama Irvan Nasrun yang membeli kavling di wilayah Bogor itu pada awal 2018. Seperti dikutip dari detik.com Irvan mengatakan total dana yang sudah ia investasikan di sana mencapai Rp 417 juta.
Dinyatakan ilegal dan "tidak rasional"
Kegiatan investasi Kampung Kurma sebenarnya sudah dihentikan dan dinyatakan ilegal oleh Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 28 April 2019.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing seperti dikutip dari siaran pers OJK pada Jumat (15/11) mengatakan bahwa Kampung Kurma sebelumnya telah diundang dalam rapat Satgas Waspada Investasi, namun tidak hadir.
Dalam rapat tersebut, OJK memperoleh konfirmasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bahwa Kampung Kurma ternyata tidak memiliki izin usaha untuk melakukan kegiatan investasi perkebunan.
"Satgas sudah mengajukan pemblokiran situsnya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Selain itu, Satgas juga telah melaporkan Kampung Kurma kepada Bareskrim Polri," ujar Tongam seperti dikutip dari laman internet OJK.
Tongam mengatakan bahwa modus investasi seperti ini tidak rasional karena menjanjikan imbal hasil tinggi dalam jangka waktu singkat. Selain itu, tidak ada transparansi terkait penggunaan dana yang ditanamkan. Tonggam juga mengatakan bahwa tidak ada jaminan pohon kurma yang ditanam akan tumbuh dan tidak mati atau ditebang oleh orang lain.
Baca juga: Ekonomi Indonesia Berkembang,Tapi Kesenjangan Makin Besar
Pentingnya berpikir logis dan kritis
Hingga akhir Oktober 2019, secara total OJK telah menyatakan ada 263 entitas investasi ilegal yang kebanyakan menawarkan transaksi jual-beli mata uang asing atau forex dengan imbalan keuntungan yang tidak masuk akal. Namun maraknya kasus penipuan berkedok agama juga telah membuat OJK bekerja sama dengan Kementerian Agama.
Cendekiawan muslim yang juga mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, mengatakan mudahnya orang jatuh percaya terhadap sesuatu yang dibungkus agama karena tidak lepas dari keinginan memperoleh hasil instan.
"Karena banyak orang ingin jalan pintas, ingin cepat kaya, cepat dapat jabatan dan sebagainya. Dengan bungkus agama seolah semuanya itu religiously justified untuk hal-hal yang too good to be true," ujar Azyumardi kepada DW Indonesia, Selasa (19/11).
Lebih lanjut, Azyumardi mengatakan bahwa ada fenomena keterpesonaan di dalam sebagian masyarakat terhadap sesuatu yang bernuansa timur tengah. Padahal menurutnya, segala sesuatu yang kearab-araban tidak secara otomatis berarti ajaran Islam.
"Misalnya jangan berpikir kalau kita menanam kurma di Indonesia pahalanya lebih besar. Padahal tanam buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan lain selama itu bermanfaat, itu mendatangkan pahala juga. Apakah mangga atau jambu, apa saja. Tidak berarti pahala menanam kurma lebih banyak daripada menanam mangga," ujar Azyumardi.
Lebih lanjut, Azyumardi mengatakan berpikiran logis sangat diperlukan dalam beragama. "Kalau dalam Islam, agama itu akal pikiran logis, tidak ada agama bagi yang tidak menggunakan akal. Cuma ada juga orang beragama yang ingin jalan pintas, misalnya masuk sorga, yang secara sesat dilakukan dengan meledakkan bom bunuh diri," ujar Azyumardi.
Literasi investasi masyarakat masih rendah
Sementara Nika Pranata, peneliti ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa meski indeks literasi keuangan Indonesia pada tahun 2019 meningkat, namun kesadaran untuk berivestasi di masyarakat masih terbilang rendah.
Berdasarkan data OJK, pada 2019 indeks literasi keuangan Indonesia mencapai 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19 persen. "Namun keikutsertaan masyarakat dalam berinvestasi masih rendah, yang berinvestasi secara konvensional di pasar modal masih di bawah satu persen, sedangkan yang berinvestasi dana pensiun konvensional masih di bawah 10 persen," ujar Nika kepada DW Indonesia, Senin (18/11).
Rendahnya keikutsertaan masyarakat dalam berinvestasi ini mencerminkan masih rendahnya literasi investasi baik di bidang investasi konvensional maupun syariah.
Nika mengakui bahwa ketertarikan untuk berinvestasi di produk investasi syariah memang cenderung meningkat, meski masih relatif rendah. "Masih di bawah 10 persen, pemahaman di bidang instrumen keuangan syariah juga masih rendah," ujar Nika, sambil mengakui bahwa investasi yang berbasis agama memang "cepat laku" di masyarakat.
Namun ia menyayangkan rendahnya literasi terkait produk syariah di masyarakat ditambah rendahnya pengetahuan tentang produk investasi membuat orang gampang tertarik untuk berinvestasi tanpa mencari informasi terlebih dahulu.
"Karena rendahnya literasi jadi gampang tergiur return tinggi dan iming-iming produk. Mereka gak cek bagaimana skema bisnisnya, apakah masuk akal apa tidak, mereka juga tidak cek di situs OJK," ujar Nika menyayangkan. Untuk itu ia menekankan bahwa pendidikan untuk meningkatkan literasi investasi, baik syariah maupun konvensional sangat penting.
Ditawari produk investasi, apa yang mesti dilakukan?
Nika mengatakan bahwa selain pendidikan, sosialisasi tentang produk investasi juga penting untuk mengedukasi masyarakat. "Sosialisasi yang efektif itu melalui iklan-iklan di televisi. Selain itu bisa juga melalui lingkungan seperti teman, keluarga maupun komunitas terdekat di mana seseorang terlibat dalam aktivitas sehari-hari," ujar Nika.
Selain itu, masyarakat juga diminta waspada untuk selalu mengecek laman situs OJK guna memastikan apakah investasi yang ditawarkan kepada mereka itu legal atau tidak.
Di laman situsnya, OJK menyatakan langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh para calon investor untuk menghindari penipuan yang berkedok investasi. Cara tersebut antara lain yaitu mencari informasi seputar perusahaan, karyawan dan produk yang ditawarkan sebelum memutuskan berinvestasi.
Para calon investor juga perlu meminta salinan tertulis terkait rencana pemasaran dan penjualan sebuah perusahaan. Selain itu, sebaiknya juga menghindari promotor yang tidak bisa menjelaskan rencana bisnis perusahaan secara detil.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan mencari tahu apakah ada permintaan produk sejenis di pasaran. Terakhir, yang wajib diketahui para investor adalah semakin besar keuntungan yang dijanjikan, berarti semakin besar pula risiko kerugian yang mesti ditanggung.
ae/vlz (berbagai sumber)